MANAJEMEN PT BCS AKAN BAYAR Rp.800 JUTA KEPADA PERMADA

BANJARMASIN (Media): Selasa, 24 Februari 2004 - Konflik di areal pertambangan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), antara warga dan PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) sejak sepekan terakhir, kini mulai mereda. Pihak PT BCS akan membayar Rp800 juta kepada Permada sebagai kompensasi.

Dalam kesepakatan dengan warga, pihak perusahaan menyatakan bersedia memenuhi sebagian tuntutan warga.

Koordinator Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel Berry Furqon, kemarin, mengatakan, sudah ada kesepakatan antara warga yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Adat (Permada) dan manajemen PT BCS berkaitan tuntutan warga sekitar tambang. "Situasi di Pulau Sebuku kini mulai mereda, kita harapkan persoalan ini cepat selesai," katanya.

Menurut Berry, PT BCS yang merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Australia tersebut, bersedia membayar dana kompensasi permintaan maaf kepada masyarakat sebesar Rp800 juta. Namun secara tegas pihak perusahaan menolak tuntutan pemberian fee angkutan batu bara.

Unjuk rasa warga dengan memblokir jalan tambang PT BCS ini, berawal dari aktivitas pertambangan PT BCS yang dinilai telah merusak lingkungan berupa pemindahan Sungai Kanibungan dengan melakukan penimbunan sungai dan kemudian melakukan penambangan di sana. Ironisnya, pemindahan sungai tersebut seizin Pemerintah Daerah Kotabaru.

Unjuk rasa Permada ini mendapat dukungan dari Solidaritas Ornop untuk Masyarakat Pulau Sebuku yang terdiri dari Yayasan Air, Lembaga Kajian Keislaman (LK3), Lembaga Advokasi Masyarakat Saijaan (Lamas), Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), Tim Pembela Hukum Masyarakat Adat (TPHMA), dan Walhi Kalsel. Dalam aksinya itu masyarakat menuntut perusahaan pertambangan PT BCS hengkang dari Pulau Sebuku.

Pemindahan Sungai Kanibungan untuk kegiatan pertambangan secara otomatis telah mematikan mata pencaharian masyarakat sekitar, karena Sungai Kanibungan merupakan pintu masuk dan keluar nelayan ketika mencari ikan. Di samping itu, keberadaan pasar tradisional dan permukiman masyarakat tergusur karena adanya aktivitas pertambangan. Tidak itu saja, limbah tambang diduga telah merusak ekosistem yang ada di sekitar sungai, sehingga Sungai Kanibungan menjadi tercemar.

sumber: