Mahalnya Harga Sebuah Perpu

 

Kompas, 16 Maret 2004 - TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Kehutanan membuat perusahaan pertambangan-sebagian besar perusahaan multinasional-bernapas lega. Sebaliknya, hutan lindung justru sesak napas.

Betapa tidak, Perpu No 1/2004 tentang Perubahan UU No 41/1999 tentang Kehutanan memungkinkan 13 perusahaan pertambangan melakukan penambangan terbuka (open-pit mining) di atas hutan lindung. Perpu yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, 11 Maret 2004, pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yang menegaskan, semua perizinan atau perjanjian pada bidang pertambangan di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya UU itu dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Kontan langkah "berani" itu mendapat reaksi dari berbagai organisasi nonpemerintah yang peduli lingkungan. Koalisi Ornop untuk Penolakan Tambang di Hutan Lindung menilai perpu itu sebagai pelecehan pemerintah terhadap DPR, bahkan pelecehan terhadap perundang-undangan.

UU No 41/1999 telah menghadang 150 perusahaan pertambangan yang menuntut pemerintah membolehkan mereka beroperasi di hutan lindung. UU itu secara eksplisit melarang kegiatan pertambangan terbuka di hutan lindung.

Memang masih ada celah yang bisa ditembus untuk meloloskan penambangan di hutan lindung, yaitu melalui alih fungsi lahan, dengan syarat mendapat persetujuan DPR. Mekanisme itu belum berjalan, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan perpu. Inilah yang dianggap oleh Koalisi Ornop sebagai pelecehan terhadap DPR.

Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menyebut terbitnya perpu itu sebagai suatu kecelakaan. Akan tetapi, katanya, Perpu No 1/2004 itu tidak perlu dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk. "Seharusnya itu diperlakukan sebagai suatu kecelakaan. Ini kasus aneh. Mudah-mudahan tidak terulang lagi," kata Makarim.

Ia menjelaskan, masalah tersebut menjadi pelik karena kontrak karya dengan perusahaan pertambangan sudah ditandatangani sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung. "Kita tidak bisa mengatakan kontrak itu tidak berlaku karena kawasannya ditetapkan sebagai hutan lindung setelah kontrak ditandatangani. Artinya, kalau kita mau kawasan itu tetap menjadi hutan lindung, harus ditebus dengan ganti rugi. Kita tidak punya uang untuk itu," tutur Makarim.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengemukakan, pengalaman yang sama pernah dihadapi Pemerintah Kosta Rika pada bulan Juni 2002. Akan tetapi, presidennya ketika itu, Abel Pacheco, berani membuat keputusan untuk melarang praktik tambang terbuka dengan sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan.

Pacheco dengan tegas menyatakan, "Kami punya banyak alasan untuk membatalkan kontrak-kontrak tambang itu. Seandainya perusahaan-perusahaan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup."

KARENA Indonesia tidak punya pemimpin setegas Pacheco yang berkata tidak kepada perusahaan tambang, marilah mulai menghitung betapa mahal biaya yang harus dibayar untuk sebuah perpu.

Dalam perkiraan Greenomics Indonesia, suatu mekanisme ekologi yang terjadi akibat penambangan terbuka dapat menciptakan biaya eksternalitas yang luar biasa bagi masyarakat luas ketika hutan lindung di sekitar mereka diledakkan. "Logika bisnis dan politik kekuasaan tidak pernah memahami itu," ujar Elfian.

Walaupun beroperasi di hutan lindung, kata Elfian, tujuan utama praktik bisnis tambang terbuka adalah tetap melakukan eksploitasi deposit mineral semaksimal mungkin pada tingkat biaya serendah mungkin. Dengan demikian, nilai keuntungan bersih total-yang dihitung berdasarkan nilai bersih sekarang (net present value) selama jangka waktu operasi penambangan (mine’s life)-dapat dicapai pada tingkat semaksimal mungkin pula.

Elfian melanjutkan, perencanaan praktik tambang terbuka akan berpijak pada prinsip bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan stok mineral di awal kegiatannya secara menguntungkan karena harus menutupi suku bunga yang dinamis dan merespons arus kas bisnis.

Dengan demikian, pilihannya akan bertumpu pada ekstraksi stok mineral terbaik (the best ore grade). Praktik tersebut akan mempertontonkan aksi penggalian modern yang menghancurkan rupa muka bentang alam dan fungsi-fungsi ekologis hutan lindung melalui proses ekstraksi, transportasi, dan pengolahan mineral.

Itu semua tentu saja akan mendatangkan dampak buruk bagi ekologi karena hutan lindung dipaksa runtuh secara radikal (lihat tabel).

Menurut Elfian, pemerintah harus menyiapkan greenplan yang dapat menekan nilai ekonomi eksternalitas lingkungan jauh lebih rendah dari nilai optimal ekstraksi tambang terbuka di hutan lindung. Ia menyebutkan, ada sedikitnya 52 sumber penerimaan negara berbasis sumber daya alam yang dapat dikembangkan oleh pemerintah ketimbang memberi peluang bagi penambangan terbuka di hutan lindung. (Nasru Alam Aziz)

sumber: