Lelang Eks HPH dan Kuasa Pertambangan: Pemerintah Pusat Wajib Libatkan Pemkab
Kompas, 6 Januari 2004
Panyabungan, Kompas - Dalam pemberian izin kuasa pertambangan (KP) maupun pelelangan atas areal hutan eks hak pengusahaan hutan yang sudah habis masa berlakunya, pemerintah pusat seyogianya memberi tahu ke pemerintah kabupaten setempat. Kalau pemerintah pusat jalan sendiri tanpa berembuk dengan pemerintah di masing-masing kabupaten, maka pemberian izin KP dan lelang areal HPH dikhawatirkan dapat memicu konflik di daerah.
Hal itu diungkapkan Bupati Mandailing Natal, Amru Daulay, ketika ditemui Kompas pekan lalu di Panyabungan, kota kabupaten yang terletak sekitar 400-an km dari Kota Medan.
"Izin KP dan keputusan untuk melelang areal bekas HPH, memang sepenuhnya kewenangan pusat. Hanya saja, sebagai pihak yang mengetahui langsung situasi dan kondisi di daerah, maka sewajarnya pusat berkoordinasi dengan pemkab. Jangan seperti sekarang, yaitu sejak awal pusat hanya jalan sendiri. Begitu ada masalah, baru melibatkan pemkab di masing-masing daerah," papar Amru Daulay menegaskan.
Dia menyebutkan, yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara, bisa jadi contoh tentang kebijakan pemerintah pusat yang dalam prosesnya sama sekali tidak melibatkan pemerintah kabupaten telah menimbulkan ekses di daerah ini.
Izin kuasa pertambangan emas kepada PT Sorik Mas Mining, yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di wilayah Kabupaten Madina, terbukti tumpang tindih dengan areal hutan lindung yang diusulkan untuk menjadi Taman Nasional (TN) Batanggadis.
Areal yang tumpang tindih ini mencapai luas sekitar 30.000 hektar, antara lain mencakup wilayah penyangga calon TN Batanggadis.
"Pemberian izin kuasa pertambangan emas kepada PT Sorik Mas Mining dengan areal konsesi seluas 60.000 hektar sama sekali tidak berkoordinasi dengan Pemkab Madina. Akibatnya, Pemkab Madina jadi repot ketika belakangan diketahui bahwa areal konsesi penambangan tersebut ternyata tumpang tindih dengan kawasan hutan yang akan dijadikan taman nasional. Padahal, sekiranya Pusat mengajak Pemkab Madina bicara, kasus ini tidak akan jadi polemik seperti sekarang," ujar Amru Daulay.
Dijelaskan, Pemkab Madina baru mengetahui terbitnya izin kuasa penambangan justru setelah perusahaan itu beberapa lama melakukan eksplorasi. Padahal, sesuai dengan semangat otonomi daerah, seharusnya Pemkab Madina sejak awal dilibatkan kendati kewenangan itu berada di pusat.
Menurut Bupati Madina, masalah tumpang tindih lahan kuasa pertambangan dengan areal calon TN Batanggadis harus segera dituntaskan. Jika tidak, ini akan memicu konflik dan reaksi di daerah. Ini mengingat, masyarakat Madina sudah menegaskan bahwa usulan untuk menjadikan hutan alam di daerah ini sebagai taman nasional tidak bisa ditawar-tawar lagi.
"Pemkab Madina dan masyarakat sudah memutuskan, Taman Nasional Batanggadis harus bisa direalisasi. Namun, tidak berarti Madina menolak investasi dalam bentuk apa pun, termasuk dalam hal usaha pertambangan," ujar Bupati.
Ditambahkan, pihaknya telah memutuskan untuk tetap membiarkan aktivitas perusahaan pertambangan emas tersebut, namun di areal yang terbatas.
Izin awal lahan KP kepada PT Sorik Mas Mining yang diberikan pemerintah pusat mencapai 60.000 ha. Tetapi, Pemkab Madina hanya akan mengizinkannya pada lahan seluas 400 ha hingga 1.000 ha. Ini didasarkan keterangan pihak perusahaan pertambangan emas itu bahwa mereka sebenarnya hanya membutuhkan lahan sekitar 200 ha.
Diakui, aktivitas eksplorasi tambang emas Sorik Mas Mining sejauh ini masih menyisakan berbagai problem di lapangan. Selain areal kuasa penambangannya yang tumpang tindih dengan hutan lindung itu, kontribusi ke Pemkab Madina pun sangat kecil hanya sekitar Rp 27 juta per tahun.
"Royalti pertambangan senilai itu sangat tidak sebanding dengan investasi yang sudah dikucurkan, yang kabarnya mencapai jutaan dollar AS," ujar Daulay. "Selama ini, Pemkab Madina tidak bisa berbuat banyak karena perusahaan pertambangan itu merasa cukup berhubungan dengan pusat saja."
Lelang eks areal HPH
Tentang kebijakan pemerintah yang akan melelang eks areal hak pengusahaan hutan (HPH) di berbagai daerah, Bupati Madina Amru Daulay juga minta agar pusat hendaknya membicarakan terlebih dahulu dengan pemkab di masing-masing daerah. Ini penting, katanya, untuk menghindari ekses di belakang hari, karena hanya daerahlah yang paling tahu tentang kondisi terakhir areal HPH yang sudah habis izin tersebut.
Di Kabupaten Madina, saat ini ada sekitar 70.000 ha areal eks HPH milik sebuah perusahaan perkayuan. Kondisi hutan eks HPH ini sungguh memprihatinkan karena sejak beberapa bulan belakangan terjadi penjarahan . Selain potensi kayu sudah nyaris lenyap, areal eks HPH ini sekarang seperti kawasan hutan tak bertuan, siapa pun bisa menebang dan membawa kayu dari sana.
"Proses lelang areal hutan eks HPH di Madina ini, juga sama sekali tidak melibatkan Pemkab Madina," ungkap Daulay.
Ia menyebutkan, Pemkab Madina seolah-olah dianggap tidak ada. Padahal, kalau nanti ada masalah di lapangan, pasti Bupati yang dicari. Karena itu, baik dalam soal pemberian izin kuasa pertambangan maupun lelang eks HPH sewajarnya pihak pemkab dilibatkan