Larangan ekspor biji logam dikaji

Larangan ekspor biji logam dikaji

 

JAKARTA (Bisnis): Departemen Perindustrian (Depperin) masih mengkaji tentang rencana larangan ekspor biji logam yang diwacanakan oleh Departemen Energi Sumber Daya Mineral.

Dirjen Industri, Logam, Mesin, Tekstil, dan Aneka, (ILMTA) Deperin Ansari Bukhari mengatakan pada dasarnya Deperin menyetujui rencana larangan ekspor tersebut, karena hal itu sesuai dengan kebijakan industri nasional yang ingin membangun industri berbasis bahan baku domestik.

"Dalam industrial policy, kami memasukan pengembangan sektor industri logam dari hulu hingga hilir, termasuk juga mengatur tentang pemanfaatan bahan baku domestik bagi kebutuhan industri," ujarnya akhir pekan lalu.

Di Indonesia, potensi bahan baku tersebut sangat besar, kata dia, namun hingga kini belum ada produsen logam yang mengolahnya untuk kebutuhan produksi. Maka wajar saja, kalau ada pengusaha yang mengekspornya.

Menurut Ansari, sepanjang ada industri yang mampu mengolah dan tersedia bahan baku yang cukup maka pemerintah akan mengusahakan agar kebutuhan tersebut tidak tergantung dari impor melainkan memproduksinya sendiri.

"Kebijakan larangan ekspor merupakan alternatif terakhir jika tidak ada solusi lain yang dapat membantu industri, hal itu dikarenakan aturan tersebut sangat terkait dengan kebijakan internasional khususnya WTO," tuturnya.

Sehingga jika memang kegiatan ekspor mengganggu kinerja industri, lanjut dia, maka pemerintah dapat menggunakan instrumen lainnya seperti pajak ekspor dan yang terakhir adalah larangan ekspor.

Wacana tentang larangan ekspor biji logam sempat dilontarkan Sekretaris Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar, yang menyatakan hal itu telah dimasukkan sebagai salah satu klausul dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batubara yang kini tengah disusun.

Pemerintah, ujarnya, bakal mewajibkan kontraktor pemegang kuasa pertambangan untuk mengolah produksinya di dalam negeri guna menekan ekspor bijih (ore) mentah dan mendongkrak sektor industri pemurnian logam nasional. (Bisnis, 10 Mei 2005).

Berdasarkan data Bea Cukai nilai ekspor biji logam dan sisa logam setiap tahun menunjukkan peningkatan, pada 2002 nilai ekspor mencapai US$1,94 miliar, pada 2003 mencapai US$2,13 miliar dan pada 2004 mencapai US$2,69 miliar.

Dalam rancangan pengembangan industri nasional Deperin disebutkan, pada periode 2005 sampai 2009 ditargetkan industri iron making atau pengolahan biji besi berbasis gas mampu ditingkatkan dari semula 1,5 juta ton menjadi 3 juta ton per tahun.

Dirjen ILMTA Ansari mengatakan di Indonesia sumber bahan baku yang lebih dikenal dengan lime stone paling banyak terdapat di Kalimantan Selatan tepatnya di pulau Sebuku.

"PT Krakatau Steel telah menyatakan minatnya untuk mengembangkan pengolahan bijih besi hingga menjadi bahan baku baja, dan itu harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah."

sumber: