Laju ekonomi RI terendah di Asia

JAKARTA (Bisnis): Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2004 terendah di Asia (4,5%), di saat kawasan ini bakal menikmati pertumbuhan paling dinamis tahun ini dan tahun depan.

ADB ?salah satu kreditor terbesar di Consultative Group for Indonesia (CGI)?menyebutkan penguatan perdagangan intra-regional dan menguatnya permintaan konsumen mendorong ekonomi Asia tumbuh 6,8% tahun ini. Cina menjadi motor pertumbuhan kawasan ini.

?Perekonomian Asia Timur dan Tenggara banyak mendapat keuntungan dari kenaikan impor Cina. Penguatan perdagangan intra-regional mampu mendorong perkembangan Asia hingga dua tahun ke depan,? ungkap ekonom Senior ADB Ifzal Ali saat menjelaskan laporan ADB bertajuk Asian Development Outlook kemarin.

Ifzal juga menyebut konsumsi menjadi mesin kedua pertumbuhan ekonomi Asia. Dorongan konsumsi terutama dinikmati Cina, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, ujarnya.

Peningkatan konsumsi, menurut dia, banyak dilahirkan dari kebijakan fiskal yang ekspansif, serta kebijakan moneter yang akomodatif dalam mendorong rendahnya tingkat suku bunga.

Dalam laporan itu, ADB juga mengungkapkan perlunya kawasan Asia melakukan reformasi perdagangan serta menjaga stabilitas politik untuk meningkatkan investasi asing langsung.

Bagi Indonesia, lambatnya pertumbuhan ekonomi dibandingkan tetangganya di kawasan lebih disebabkan aliran investasi langsung yang masih ?malas?. ?Relatif moderatnya pertumbuhan Indonesia dibanding negara-negara tetangganya disebabkan oleh lambatnya perkembangan investasi yang masuk,? ujar Ekonom Senior ADB untuk wilayah Indonesia Ramesh Subramaniam.

Subramaniam menyebutkan investasi asing di Indonesia terhambat rendahnya kualitas governance di sektor pemerintahan serta ketidakpastian hukum serta rendahnya infrastruktur fisik.

Country Director ADB untuk Indonesia David J. Green bahkan menggarisbawahi, pengertian-pengertian hukum di Indonesia terlalu fleksibel. ?Aturan-aturan hukum di Indonesia belum menunjang investasi asing, contohnya kasus Manulife,? jelasnya.

Selain itu, sebutnya, investor beranggapan kontrak-kontrak kerja di Indonesia kurang dihargai, sehingga asing merasa tidak ada jaminan bagi kepastian hukum.

Subramaniam menambahkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,5% tahun ini tidak cukup mampu menurunkan angka kemiskinan, yang pada 2003 lalu mencapai 17,4% dan 18,2% (2002).

?Penurunan tingkat kemiskinan tidak cukup besar, kenaikan upah belum menyentuh sektor pertanian, dan tambahan kerja tidak cukup mampu menyerap jumlah angkatan kerja baru dan lama.?

Data ADB ini berbeda dengan laporan Bank Dunia yang diluncurkan pekan lalu, bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini sudah menurun drastis dari 20%?sebelum krisis?tinggal 6,2%

Mengejutkan

Namun di sisi lain, ADB mengaku terkejut dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2003 lalu yang mencapai 4,1%. Pasalnya, perekonomian sebagian negara tetangga (di Asia) cukup tertekan oleh adanya serangan teroris, krisis Irak, pelemahan negara-negara maju maupun SARS.

Subramaniam juga menilai kinerja inflasi cukup bagus dengan hanya 5,1%, tingkat bunga turun cukup besar, dari 12% menjadi 8,4%, nilai tukar rupiah stabil, dan ekspor lebih tinggi ketimbang 2002 yang kemudian mendorong penguatan cadangan devisa.

Namun, kata Daniel Lian, Ekonom Senior Morgan Stanley untuk kawasan Asia Tenggara, kestabilan makro dan menurunnya risiko (risk premium)?yang dicapai sepanjang 2003?tidak bisa menjadi ukuran keberhasilan satu perekonomian.

Menurut Lian, Indonesia justru membutuhkan kepemimpinan yang lebih proaktif di bidang ekonomi untuk membawa strategi pembangunan jangka panjang yang lebih efektif.

Dia berpendapat kepemimpinan (pascapemilu) yang efektif dan mendukung strategi pertumbuhan menjadi kunci bagi perkembangan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. (gak) 29-APR-2004

sumber: