Kultur Birokrasi Korup, Percepat Laju Kerusakan Hutan

JAKARTA (Media): Percepatan laju kerusakan hutan domestik di Indonesia bertambah akibat pengaruh kultur birokrasi yang korup, disertai dengan sikap tamak pengusaha perkayuan dalam mengeksploitasi lingkungan hidup dalam mengejar kepentingan ekonomi.

Demikian disampaikan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, saat pemberian penghargaan kepada media massa dan wartawan yang diselenggarakan Indonesia Forest and Media Campaign (Inform) di Jakarta, kemarin.

Rapuhnya struktur pengawasan dalam pemanfaatan hasil hutan, sebut Siswono, membuat degradasi lingkungan semakin jauh meninggalkan fungsinya guna memenuhi kebutuhan manusia. Kemampuan dan daya dukung lingkungan menurun setiap tahun, katanya.

Terlebih lagi, sambungnya, dengan era desentralisasi kewenangan yang menggunakan instrumen otonomi daerah, orientasi konservasi semakin terpinggirkan. Kemudian mengemuka kepentingan bisnis komersial yang bersifat jangka pendek, imbuhnya.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, lanjutnya, hutan dan panorama alam telah tergantikan oleh padang ilalang yang membuktikan secara nyata hilangnya hutan dalam negeri. Kita membutuhkan ketegasan hukum dan kebijakan yang berpihak pada publik, sebutnya.

Faktor lain yang memicu tingkat kerusakan hutan, sambungnya, akibat kemiskinan dan keterdesakan masyarakat. Karena itu, pemerintah harus segera mengimplementasikan pola pembangunan berkelanjutan dengan memprioritaskan kesejahteraan publik.

Sesuai hasil survei demografi 2003, jelasnya, jumlah buruh tani tidak memiliki lahan telah mencapai 13,5 juta orang. Telah terjadi pertambahan sekitar 2,9% buruh tani/tahun. Bila tidak ditangani serius, mereka berpotensi menjadi perusak hutan, ujarnya.

Sesungguhnya, ujar Siswono, dari 191 juta hektare daratan di Indonesia masih terdapat 61 juta hektare lahan yang dapat dioptimalisasikan tanpa harus tumpang tindih dengan peruntukan hutan. Perlu sebuah keputusan penyediaan lahan bagi petani, tegasnya.

Tuntutan pembangunan, tuturnya, seolah dibuat berhadapan dengan upaya pelestarian lingkungan. Padahal, dengan mekanisme yang lebih bijak, ulasnya, pembangunan berarti peningkatan kualitas lingkungan. India misalnya, dapat mentransformasikan pertanian sebagai sarana konservasi, paparnya.

Perubahan paradigmatik, sebutnya, dalam merumuskan langkah kebijakan pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan kepentingan lingkungan, bagi kebutuhan masa mendatang. Banyak yang salah dalam penerapan kebijakan ramah lingkungan.

Dalam dunia pertanian, jelasnya, pola penanaman yang menggunakan pupuk kimiawi sintetik guna mengejar kuantitas produksi ternyata turut merusak alam. Dengan hal itu, unsur hara tanah berubah menjadi liat sehingga tidak dapat menyerap air, ulasnya.

Kendati demikian, jelasnya, perlu waktu dan tenaga yang besar untuk mensosialisasikan kepada masyarakat. Masih ada peluang mempertahankan kualitas lingkungan, asalkan ada tindakan tegas dan berani sehingga menjadi preseden yang baik, katanya.

Spesies endemik

Sementara itu, Analis Kebijakan dari Conservational International Indonesia Wiratno mengatakan, Indonesia menjadi salah satu area yang 43% merupakan tempat spesies endemik di dunia. Namun, kekayaan yang hanya berjumlah 1,4% dari wilayah dunia itu, terus terkikis.

Bahkan dengan mengatasnamakan pembangunan, sebutnya, sekarang 88% habitat telah hilang. Diprediksikan pada 2005, hutan daratan rendah Sumatra akan segera lenyap, disusul hutan di Kalimantan pada 2010. Akan terus mengarah ke timur, katanya.

Hutan yang berkategori masih alami dan asri, sebutnya, terpisah dan terfragmentasi sehingga membuat luas tutupan hutan berkurang. Dengan kondisi seperti itu, konflik sosial akan semakin meruncing dan satwa serta flora kehilangan makna, jelasnya.

Inform Award

Pada kesempatan tersebut, Media Indonesia bersama Kompas dan Sinar Harapan mendapat anugerah Inform Award yang diberikan pada media massa yang menyuarakan isu deforestasi dan illegal logging, serta mempunyai sikap konsisten atas hal itu. Penilaian diberikan oleh tim juri, yang terdiri atas berbagai pemangku kebijakan yang terkait.

 

sumber: