KRIMINAL: “PENAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG�

Pemerintah telah memberikan persetujuan terhadap 22 perusahaan tambang untuk meneruskan operasi mereka dengan membuka kawasan hutan lindung. Ke 22 perusahaan itu adalah PT. Freeport Indonesia, PT. Nabire Bhakti Mining, PT. Galuh Cempaka, PT. International Nickel Indonesia (inco), PT. Barisan Tropikal Mining, PT. Natarang Mining, PT. Newmont Minahasa Raya, PT. Citra Palu Mineral, PT. Nusa Halmahera Minerals, PT. Weda Bay Nickel, PT. Riau Baraharum, PT. Jorong Barautama Greston, PT. Bahari Cakrawala Sebuku, PT. Indominco Mandiri, PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Meares Soputan Mining, PT. Sumbawa Timur Mining, PT. Sorik Mas Mining, dan PT. Arutmin Indonesia.

Keputusan pemerintah tersebut bertentangan dengan pasal 38 ayat (4) UU kehutanan yang menyatakan bahwa: “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.�

Namun kemudian pemerintah menggunakan pasal 19 UU kehutanan yang memberikan peluang bagi perubahan peruntukan kawasan hutan dengan berbagai persyaratan antara lain: (1) adanya peraturan pemerintah yang mengatur tentang (a) criteria fungsi hutan, (b) cakupan luas, (c) pihak-pihak yang melaksanakan penelitian terpadu sebagai dasar perubahan peruntukan; dan (d) tata cara perubahan; (2) dilaksanakan penelitian terpadu untuk menjamin objektifitas yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kopmetensi dan otoritas ilmiah (scientific authority), dan (3) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila perubahan peruntukan tersebut berdampak penting dan memiliki cakupan yang luas serta bernilai strategis.

Menanggapi kebijakan pemerintah tersebut, Koalisi Organisasi Non Pemerintah yang terdiri dari 11 LSM lingkungan yakni WWF Indonesia, WALHI, JATAM, Pelangi, Yayasan Kehati, ICEL, Pokja PSDA, FWI, TATR, Jaring Pela dan MPI, dalam konferensi pers yang diadakan tanggal 2/7/2003 di Jakarta, menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah kriminal.

Pemerintah, investor dan para wakil rakyat yang berada di DPR dianggap mencari “celah hukum� (loopholes) dengan mengandalkan pasal 19 UU 41/1999. Padahal, Peraturan Pemerintah sebagaimana disyaratkan oleh pasal 19 ayat (3) perihal tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan belum ada. Dalam siaran persnya, koalisi juga menegaskan bahwa mengingat pentingnya fungsi kawasan hutan lindung terhadap (1) perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air; (2) mencegah banjir; (3) mengendalikan erosi (4) mencegah instrusi air laut; dan (5) memelihara kesuburan tanah, maka terhadap pelanggarannya diancam hukuman pidana kejahatan paling lama 10 tahun penjara, berdasarkan pasal 78 ayat (6) jo ayat (13) UU 41/1999. (CA). (sel)

sumber: