Komisi VIII DPR Tak Setujui Perpu Pertambangan 2004

 

 

Jakarta, Kompas - Komisi VIII DPR sepakat tidak menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan. Pembahasan perpu yang memungkinkan 13 perusahaan pertambangan melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, itu akan segera dibahas oleh Panitia Khusus beranggotakan 27 orang.

Sikap Komisi VIII itu dikemukakan Ketua Subkomisi Lingkungan Hidup, Moh Askin, pada diskusi "Problematika Perpu No 1/2004" di Kantor Natural Resources Management (NRM), Jakarta, Senin (21/6). Diskusi yang diselenggarakan Koalisi Ornop untuk Penolakan Alih Fungsi Kawasan Lindung menjadi Pertambangan, juga menghadirkan pembicara Maria Farida Indrati Soeprapto, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

"Di Komisi VIII jelas bahwa perpu itu ditolak, karena implikasinya sangat luas, dan mengabaikan konsep pembangunan berkelanjutan. Mudah-mudahan alasan ini bisa ditangkap anggota pansus dari komisi lain," ungkap Askin.

Perpu No 1/2004 ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 11 Maret 2004, saat DPR sedang dalam masa reses. Belum lagi perpu disetujui DPR-sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945-Megawati sudah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) No 41/2004 tanggal 12 Mei 2004. Keppres itu menetapkan 13 perusahaan pertambangan dapat melanjutkan kegiatan di kawasan hutan lindung hingga izin berakhir.

Maria menjelaskan, proses pembentukan perpu dilakukan lebih singkat dibanding pembentukan UU, sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. Akan tetapi, suatu perpu harus diajukan kepada DPR untuk mendapat persetujuan, dan jika tidak disetujui harus dicabut, seperti diatur UUD 1945.

Pasal 22 Ayat 2 UUD 1945 menegaskan, Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Kemudian pada Ayat 3 dijeaskan, Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

"Suatu perpu yang diajukan ke DPR akan dibahas sebagai suatu RUU biasa. Karena diajukan sebagai RUU yang berasal dari perpu, maka dimungkinkan terjadinya perubahan atau amandemen terhadap perpu tersebut," jelas Maria.

Berbeda dengan RUU biasa, RUU yang berasal dari perpu selama persidangan tetap berlaku sebagai suatu perpu sampai ditetapkan sebagai UU atau dicabut. "Meskipun DPR akhirnya tidak setuju, perpu tersebut tetap berlaku selama belum dicabut presiden, dan tidak ada sanksi pidana untuk itu. Dalam hal ini presiden dapat dinilai melanggar konstitusi dan dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi," tambahnya.

Tak beralasan

Pertimbangan diterbitkannya Perpu No 1/2004, untuk mendapatkan kepercayaan investor, menurut Askin, menunjukkan bahwa pemerintah bersikap economic oriented. Sikap tersebut, menegaskan keberpihakan pemerintah kepada pemodal dengan menegasikan aspek-aspek lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

"Orientasi tersebut menunjukkan adanya peranan dari pemodal asing, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang seharusnya menjadi visi pembangunan pemerintah sebagaimana amanat konstitusi," papar Askin.

Mengenai kekhawatiran pemerintah bahwa para investor yang telah mendapat izin pertambangan akan menuntut ganti rugi jika tidak dapat melanjutkan kegiatannya, menurut Askin, hal itu tidak beralasan. "Ketakutan itu berlebihan, sebab dunia internasional saat ini sangat mematuhi aturan dan menghormati kegiatan pembangunan berwawasan lingkungan," tuturnya.

Sementara itu, Aminuddin A Kirom dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang penambangan di hutan lindung, jika dilakukan dengan sistem tertutup (underground mining). UU No 41/1999, yang direvisi oleh Perpu No 1/2004, hanya secara tegas melarang penambangan dengan sistem terbuka (open pit mining

sumber: