Kerusakan Parah, Jayapura Makin Rawan Longsor

 

Kerusakan Parah, Jayapura Makin Rawan Longsor

Jayapura, Kompas - Akibat penggalian golongan C yang terus-menerus di Kota dan Kabupaten Jayapura, sebagian besar daerah itu sangat rawan terhadap bencana tanah longsor dan kekeringan. Kerusakan itu diperparah dengan kehadiran warga pendatang yang lebih berorientasi bisnis sehingga tidak memerhatikan peraturan dan kebijakan pemerintah setempat.

Ketua DPRD Kota Jayapura Theofilus Bonay mengatakan hal ini di sela Lokakarya Partisipasi Pembangunan Kota Jayapura di Jayapura, Rabu (21/9). Kawasan hutan lindung, termasuk Cagar Alam Cycloops yang terbentang dari seberang Bandara Sentani sampai Kota Jayapura, hancur oleh kegiatan pengambilan bahan pasir, batu, dan tanah liat.

Sejumlah areal terjadi penggundulan luar biasa. Gunung dan bukit dibelah dengan alat-alat berat kemudian diambil pasir, batu dan karang sehingga posisi gunung dan bukit hampir tumbang. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena di bawah lereng gunung atau bukit itu ada permukiman penduduk, jalan umum, dan fasilitas pemerintah lain seperti jaringan telepon, dan listrik, kata Bonay.

Longsor sering terjadi di sejumlah areal Kota dan Kabupaten Jayapura saat hujan deras disertai genangan air serupa kolam di berbagai tempat. Sejumlah sumber mata air di Kota Jayapura sudah mengering, debit air Danau Sentani berkurang, dan pendangkalan danau karena sedimentasi dari Pegunungan Cycloops.

Bahan galian C ini biasanya dikuasai warga pendatang. Selain dijual, golongan C ini juga dibuat batako seharga Rp 1.500 per batang. Bukit yang berpotensi mengandung bahan galian C ini dijual oleh pemilik hak ulayat kepada pemilik modal.

Para pengusaha kemudian mendatangkan alat-alat berat seperti buldoser, truk, pengeruk, traktor kemudian membangun pemondokan di areal itu.

Di Kota Jayapura, terutama di Kelurahan Bucend, Entrop, dan Polimak, sejumlah warga telah melarang para pengusaha galian C karena saat terjadi hujan lebat sejumlah batu dan pasir sering runtuh menimbun di jalan dan rumah penduduk. Tetapi, para pengusaha ini tidak pernah jera atas teguran warga, mereka justru balik mengancam.

Menurut Bonay, Pemerintah Kota dan Kabupaten Jayapura sejak tahun 1996 melarang pengusaha melakukan penggalian bahan golongan C, tetapi larangan itu tidak pernah ditaati.

Mereka datang ke Jayapura untuk mengejar uang bukan berpartisipasi membangun Kota Jayapura. Bisa dilihat langsung, mereka memiliki mobil angkutan sampai 20 unit diparkir di depan rumah, tetapi rumah tinggal dibangun dari tripleks, katanya.

Tidak hanya itu, masyarakat pendatang juga membangun rumah di dalam hutan lindung, di sekitar sumber mata air. Mereka tidak peduli atas lingkungan, termasuk penebangan liar. (kor)

sumber: