Kekayaan Alam Indonesia, Kebanggaan yang Menuju Kepunahan
Kekayaan Alam Indonesia, Kebanggaan yang Menuju Kepunahan
Suara Pembaruan, 7 Desember 2005
ÂÂ
BUSUNG LAPAR – Alip Akbar (2 tahun), anak seorang buruh di lokasi penggalian pasir di Kampung Tegal Kiari RT 05/03 Kelurahan Rumpin, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
SALAH urus. Dua kata itu sering dilontarkan kalangan lembaga swadaya masyarakat, menyikapi kehancuran sumber daya alam yang dimiliki
Sejumlah kalangan menuding kehancuran kekayaan alam yang semakin mendekati kepunahan itu akibat kebijakan yang salah, dari satu rezim ke rezim lain, dimulai dari rezim Soeharto. Pembabatan hutan, pengerukan mineral tambang, maupun pengeboran ladang-ladang minyak dan gas bumi besar-besaran sejak sekitar 33 tahun lalu dengan dalih mengejar pendapatan negara, menjadi pangkal kehancuran negeri yang kaya sumber daya alam ini.
Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada periode 1969-1974, tak kurang dari 11 juta hektare (ha) kawasan hutan diobral untuk dikonsesikan (melalui izin hak pengusahaan hutan atau HPH) kepada pengusaha. Setiap tahun, sejak periode itu hingga menjelang tahun 1990-an, setiap tahun tak terhitung lagi berapa luas hutan yang diserahkan pengelolaannya melalui izin bodong berkedok HPH. Sementara, pemilik izin HPH (yang resmi) tak jarang melakukan praktik ilegal, membabat hutan di luar konsesi, atau yang kini disebut pembalakan liar.
Maka, jangan kaget bila angka luas tutupan hutan
Data mengenai luas kawasan hutan yang sulit diperoleh, ternyata juga memperlihatkan data yang selalu berbeda, meski dari sumber yang sama. Lihat saja, berdasarkan rekalkulasi tahun 2003, Badan Planologi mencatat total luas lahan berhutan pada kawasan hutan Indonesia, tinggal 63 persen atau sekitar 83,892 juta ha dari perkiraan luas total kawasan hutan seluas 133,128 juta ha.
Sementara Menteri Kehutanan MS Kaban, dalam berbagai kesempatan, menyebutkan (mengacu pada data Badan Planologi), saat ini total luas kawasan hutan
Mengeruk Habis
Pemberian izin pengusahaan hutan melalui HPH maupun IPK (izin pemanfaatan kayu, yang marak pasca era otonomi daerah) oleh sejumlah kalangan, dinilai berkontribusi besar terhadap kehancuran hutan. Selain itu, dampak pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang juga diyakini, oleh sebagian kalangan, tak kalah dasyatnya dibanding kerusakan lingkungan (hutan) akibat eksploitasi HPH dan IPK.
Potret buram pengelolaan sumber daya alam, memang tak hanya berlaku di sektor kehutanan, tetapi juga sektor pertambangan baik mineral maupun minyak dan gas bumi. Lihat saja, areal-areal bekas penambangan seperti yang banyak dijumpai di Kalimantan dan
Lalu, apa yang diperoleh rakyat, terutama mereka yang hidup di sekitar sumber-sumber devisa negara tersebut? Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi pada isu-isu pertambangan mencatat masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan terutama di wilayah ring satu (wilayah yang paling berdekatan dengan lokasi penambangan) kehidupannya mengenaskan.
Tak hanya tersisih dari hak untuk turut mengelola, apalagi menikmati kekayaan alam leluhur, masyarakat di sekitar lokasi tambang juga menjadi korban yang paling merasakan dampak buruk praktik penambangan. Kerusakan lingkungan selalu menyertai kegiatan penambangan. Jatam mencatat tak ada satu pun perusahaan tambang yang telah hengkang dari
Masyarakat di sekitar tambang hanya menjadi penonton, seperti tamu di rumah sendiri karena tidak bisa leluasa menikmati kekayaan alam yang diwariskan leluhur mereka. Sebaliknya pemodal (asing) yang menjadi tuan. Berbekal perjanjian kontrak karya dengan pemerintah, mereka leluasa mengeruk dan mengeruk lagi sumber daya mineral, sampai tak tersisa.
Yang disisakan adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan yang kerap berujung pada mewabahnya penyakit akibat pencemaran lingkungan, serta kepedihan mendalam masyarakat sekitar lokasi tambang karena trauma penggusuran dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat atas pesanan pihak perusahaan. Entah sudah berapa nyawa melayang, menjadi korban kekerasan aparat yang berdalih melindungi objek vital, hanya karena ingin menuntut hak agar dapat menikmati kekayaan alam negeri tercinta ini.
Pertanyaannya, sampai kapan rakyat tersisih dan terpasung, hingga tak berdaya menggapai hak yang seharusnya tak perlu mereka perjuangkan sampai bertaruh nyawa? Masih adakah kekayaan mineral tambang yang tersisa bagi rakyat, yang selama ini miskin dan tersisih?
Karena UU Migas
Realita yang terekam di sektor minyak dan gas bumi (migas), tak kalah tragis dibanding sektor kehutanan dan pertambangan umum. Meski eksploitasi sumber daya migas Indonesia telah berlangsung sejak zaman Belanda, pengamat migas Ramses Hutapea, meyakini catatan terburuk di sektor migas justru mulai tertoreh ketika UU No 22/2001 tentang Migas, lahir.
“Sejarah memburuknya sektor migas dimulai ketika UU ini lahir. Sebagai sektor andalan (penyumbang devisa), nasib sektor migas sekarang sangat memprihatinkan. Lalu siapa yang salah? Pemerintah, terutama yang terlibat melahirkan UU Migas. Lahirnya UU ini menandai kemunduran pengelolaan sektor migas
Sejak 2001, sesudah terbitnya UU Migas, tak ada catatan prestasi seperti nilai investasi ataupun penemuan lapangan migas baru, sehingga keinginan menempatkan kembali Indonesia sebagai negara pengekspor minyak (net oil exporter country), akan menjadi impian belaka.
Fakta lain yang juga memprihatinkan adalah ketika cadangan minyak bumi (cadangan terbukti) kian menipis, dan kebutuhan bahan bakar minyak meningkat. Itulah mengapa status yang disandang Indonesia selama sekitar 30 tahun, sebagai negara pengekspor minyak, harus ikhlas dilepas karena kini negeri penghasil minyak itu menjadi salah satu negara pengimpor minyak (net oil importer country) yang cukup besar.
“Kalau dari dulu kita selalu berdoa supaya harga minyak naik, sekarang kenaikan harga minyak justru menjadi momok paling menakutkan. Dulu setiap terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia, kita mendapatkan windfall profit (selisih keuntungan dari kenaikan harga), tapi sekarang setiap harga naik satu dolar AS saja kita pusing,� kata Ramses.
Potensi sumber daya migas