Kebutuhan pembiayaan RAPBN 2005 Rp93 triliun, Pemerintah bakal jual obligasi Rp50 triliun

JAKARTA (Bisnis): Pemerintah, dalam RAPBN 2005 yang diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR pagi ini, akan melepas obligasi senilai Rp50 triliun untuk mem biayai kesenjangan anggaran yang mencapai Rp93,14 triliun.

Menurut kalangan pelaku pasar yang mengikuti penjelasan Menkeu Boediono, Kamis pekan lalu, kesenjangan RAPBN 2005 terdiri dari defisit anggaran sebesar Rp16,66 triliun (0,8% dari produk domestik bruto) dan Rp76,44 triliun kebutuhan untuk membayar utang luar dan dalam ne-geri.

"Untuk membiayai kesenjangan anggaran itu, pemerintah akan mena-rik pinjaman luar negeri sebesar Rp26,6 triliun dan mengatur pembiayaan dalam negeri Rp66,5 triliun," ungkap seorang pelaku pasar kepada Bisnis di Jakarta, tadi malam.

Mengutip penjelasan Menkeu itu, disebutkan bahwa pembiayaan dari dalam negeri akan berasal dari privatisasi senilai Rp3,5 triliun, penjualan aset bekas BPPN di PPA senilai Rp4 triliun, pembiayaan perbankan domestik Rp9 triliun, dan penerbitan obligasi pemerintah Rp50 triliun.

Dari penerbitan obligasi sebesar itu, menurut Menkeu, sebanyak Rp42 triliun akan diterbitkan ke pasar, sedangkan Rp8 triliun sisanya digunakan untuk merekapitalisasi BI.

Dalam acara itu, Menkeu Boediono didampingi oleh Pjs. Kepala Badan Analisa Fiskal Anggito Abimanyu.

Selain para pelaku pasar, analis, dan pengamat ekonomi, juga hadir Ketua Bapepam Herwidayatmo, Dirut BEJ Erry Firmansyah, dan Dirut BES Hindarmojo Hinuri K.

Presiden Megawati pagi ini dijadwalkan menyampaikan Nota Ke-uangan dan RAPBN 2005 kepada DPR, yang menurut jadwal akan membahasnya secara maraton untuk disahkan menjadi APBN 2005 pada akhir September . (Bisnis, 14 Agustus)

Banyak pertanyaan

Menurut Head of Research PT Mandiri Sekuritas Kahlil Rowter, asumsi-asumsi yang diberikan pemerintah dalam RAPBN 2005 itu akan menimbulkan banyak tanda tanya.

"Besaran-besaran yang diberikan mungkin tidak masalah, tapi asumsi-asumsinya lho. Inflasi disebutkan 5,5%. Padahal, tahun ini saja inflasi sudah mendekati 7,5%. Katakanlah rupiah bisa stabil tapi demand [permintaan] kan akan naik," ujarnya kepada Bisnis kemarin.

Masalah lain yang cukup kru-sial, menurut dia, adalah penetapan harga minyak US$24 per barel. Padahal, lanjutnya, harga minyak mentah di pasar dunia saat ini sudah berada di atas US$46 per barel.

Dia menduga pemerintah saat ini tidak dapat menaikkan harga BBM karena RAPBN 2005 merupakan bagian dari pemerintahan berikutnya. "Jadi, mungkin orang akan melihat ini sebagai RAPBN yang politis."

Selain itu, katanya, pengamat akan melihat RAPBN itu tidak berpihak pada rakyat karena mayoritas mengalir ke dana alokasi khusus (DAU) dan membayar utang.

Dia juga mempertanyakan asumsi suku bunga SBI 6,5% di tengah sebagian besar pelaku pasar memperkirakan SBI akan bergerak naik hampir ke level 8% hingga akhir 2004.

"Jadi, semua orang tentu akan berpikir bahwa itu agak berat untuk di-capai," katanya. (08)

sumber: