Kebijakan energi belum optimal akibat 20% deviasi BBM
Staf Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Hendrumal Pandjaitan menegaskan kinerja kebijakan pengadaan energi nasional tidak optimal karena adanya potensi kebocoran yang mencapai lebih dari Rp30 triliun per tahun.
"Demikian juga dengan kebijakan memaksimalkan partisipasi swasta dalam pembangunan nasional yang sampai saat ini belum sepenuhnya diatur mengacu pada tata kelola yang baik, terutama terkait kontrak-kontrak pertambangan seperti
Menyangkut manipulasi pemanfaatan BBM yang mencapai 20% volume, menurut dia, hal itu dapat terlihat pada kejanggalan pola pemakaian BBM. Pada 1998, kata dia listrik drop luar biasa (sekitar 26%) sesuai dengan terkontraksinya PDB (yang juga dengan besaran luar biasa sekitar minus 13,7%).
"Namun kenyataannya, daya beli rakyat yang turun drastis pada 1998 malah meningkatkan konsumsi BBM untuk industri dan rumah tangga sebesar 2%," jelas dia.
Dia menambahkan, Jepang, sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia (GDP 2002 mencapai US$4,61 triliun) konsumsi BBM sebesar 21,23 juta kilo liter pada Februari 2004.
"Sementara rata-rata bulanan
Akibat tidak optimalnya kebijakan pemanfaatan gas alam di dalam negeri, katanya, seluruh produksi minyak nasional di konsumsi habis. Pada saat yang sama timbul keterpaksaan pengalokasian subsidi BBM yang luar biasa besar.
Hendrumal juga menyebutkan kinerja kebijakan sektoral juga bermasalah. Kebijakan yang diformalkan melalui keputusan pejabat instansi teknis/sektoral, yang seakan-akan melindungi kepentingan rakyat banyak karena terkait penggunaan produk dalam negeri, seringkali bernuansa rawan KKN.
Dia mencontohkan kebijakan Dirjen Migas No. 245/ 32/ DJM/1994 yang mengatur penggunaan produk dalam negeri, dimana seluruh pipa seamless OCTG (pipa baja tanpa las) yang digunakan Kontrak Production Sharing (KPS) wajib dilakukan heat treatment di dalam negeri.
Seharusnya, kata dia, kriteria utama penggunaan produk dalam negeri adalah dalam rangka perluasan lapangan kerja yang berdampak pada tingginya peningkatan value added sosialnya.
"Serta tidak menimbulkan distorsi pasar yang besar seperti kondisi anti kompetitif, misalnya kebijakan yang mendegradasi pasar menjadi pasar monopoli atau duopoli."
Pemerintah sendiri diketahui tetap memberikan hak istimewa bisnis migas kepada Pertamina, meski BUMN ini telah berubah status menjadi persero.
sumber: