Ke mana sumber daya alam dan mineral kita?

Ke mana sumber daya alam dan mineral kita?

Kwik Kian Gie, Bisnis, 16 Januari 2006

Amien Rais sudah lama prihatin terhadap bagaimana juntrungan-nya kekayaan mineral bangsa ini. Kita masih ingat ketika mantan ketua MPR itu marah besar setelah menyaksikan betapa eksploitasi oleh Freeport di Irian Jaya [Papua] membuat bukit menjadi danau tanpa ada kejelasan untuk siapa hasil mineral tersebut.

Kerisauan Amien Rais sangat berdasar. Kalau pun dianggap kurang berdasar, seperti yang dikemukakan oleh anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ramson Siagian yang minta bukti, paling tidak kita harus sangat risau tentang keterbukaannya.

Dirut Freeport Indonesia Adrie Machribie, yang diwawancarai Peter F. Gontha dalam Q-Channel selama sejam, mengatakan perusahaan itu setiap tahun memberikan sumbangan kepada pemerintah Indonesia sebesar US$1 miliar. Tetapi kalau kita tengok APBN 2006, pos pendapatan dari seluruh sumber daya alam, di luar minyak dan gas bumi (migas), tercantum Rp5,4 triliun (sekitar US$568 juta, dengan nilai tukar Rp9.500 per dolar AS).

Bagaimana mungkin? Kalau kita tanya kepada yang berkompeten, maka dengan enteng dijawab: "Oh, semua pendapatan dari sumber daya alam" lainnya yang tidak terlihat secara eksplisit dimasukkan ke dalam pos "Pendapatan dari Pajak."

Boleh saja demikian. Tetapi apakah para anggota DPR tidak penasaran kepingin tahu (curious) semua angka sedalam-dalamnya atau tidak mampu membacanya kalau pun kepada mereka diberikan?

"Ketidakmampuan membaca angka-angka" ini memang sering dijadikan alasan oleh para birokrat-teknokrat jika dimintai angka-angka dari kekayaan yang milik rakyat banyak.

Banyak keanehan

Saya tentu tidak berani mengatakan telah terjadi praktik korupsi besar-besaran di bidang sumber daya alam, terutama kekayaan mineral. Tetapi sangat banyak keanehan.

Yang paling transparan adalah angka-angka yang berhubungan dengan minyak. Artinya, paling tidak tercantum dalam APBN. Itupun sangat membingungkan.

Pemasukan minyak dikurangi pos "subsidi" dalam APBN tidak pernah minus. Juga ketika harga bahan bakar minyak (BBM) belum dinaikkan. Tetapi dikatakan pemerintah nombok!

Sekarang pertanyaan yang lebih teknis, yaitu apakah semua angka yang berhubungan dengan minyak ada dalam pembukuan PT Pertamina? Ataukah Pertamina hanya boleh mengetahui sebagian saja, dan sisanya tercecer antara Departemen Keuangan, BP Migas, Petral di Singapura, dan beberapa instansi lainnya?

Kawan saya pernah bekerja di perusahaan akuntan yang termasuk lima besar di dunia, yaitu Arthur Young. Kantor akuntan ini pernah mendapat tugas mengaudit Pertamina.

Setelah melihat sepintas, kawan tadi angkat tangan, dia tidak sanggup. Ini karena dia tidak tahu harus mulai dari mana mengingat saking kacaunya laporan yang harus diaudit.

Kontrak bagi hasil antara Indonesia dan Kontraktor Production Sharing (KPS) adalah 85%:15%. Tetapi nyatanya yang dinikmati oleh Indonesia saat ini hanya 58,98%, sedangkan KPS 41,02%.

Ketika ditanya mengapa demikian? Jawabannya, dalam perjanjian bagi hasil ada ketentuan bahwa semua biaya eksplorasi harus diganti terlebih dahulu. Setelah ini dibayarkan semuanya, sisanya baru dibagi dengan perbandingan 15%: 85%.

Hal ini tentu langsung mengundang pertanyaan dalam batin kita, setelah sekian lama tidak ada eksplorasi lagi, kok penggantian biaya eksplorasinya tidak habis-habis dan jumlahnya sangat besar?

Rumor

Kemudian ada rumor yang sangat santer bahwa biaya eksplorasi tersebut adalah ajang mark-up gila-gilaan yang merupakan persekongkolan antara kontraktor asing dan pejabat tinggi Indonesia. Mohon agar saya jangan disomasi. Dengan tegas sekali lagi saya katakan ini rumor.

Ada sebuah dokumen yang terdiri dari lima halaman. Yang satu memberi skema tentang proyeksi untuk 2005 tentang berapa produksi minyak mentah Indonesia yang menjadi hak kita, yaitu 663.500 barel per hari. Ternyata ada yang diekspor oleh BP Migas, yaitu 33.300 barel per hari, selain ada pula ekspor dengan sebutan "ekspor/exchange" sebanyak 67.000 barel per hari.

Jadi, ada ekspor sebesar 100.300 barel per hari. Tetapi dalam lembar lain dari lima lembar tersebut, ada semacam rincian rugi dan laba, dan di dalamnya tidak ada pemasukan uang dari hasil ekspor tersebut.

Ada dokumen yang menunjukkan bahwa kapasitas kilang minyak Pertamina sebesar 966.900 barel per hari. Minyak mentah hak Indonesia seluruhnya 663.500 barel per hari.

Jadi, masih kurang untuk mengisi kilang sendiri. Tetapi toh ada ekspor sebesar 100.300 barel per hari itu tadi. Maka setelah diekspor yang tersisa hanya 563.200 barel per hari.

Untuk mengisi kilang minyak kekurangan 403.700 barel per hari yang diimpor atau dibeli dengan sebutan "Beli dari KPS exchange" sebanyak 47.100 barel per hari, dengan sebutan "Impor term kontrak" sebanyak 240.000 barel per hari dan dengan sebutan "Impor spot tender" sebanyak 116.600 barel per hari.

Jadi, sudah kurang tetapi toh diekspor. Lebih besar lagi tekornya, lantas dibeli dan diimpor dengan harga mahal.

Harga mahal

Ketika saya bertanya kiri kanan, dijawab samar-samar bahwa kualitas minyak mentah Indonesia tinggi, mengingat kandungan sulfur (belerang)-nya rendah. Karena itu, harga minyak mentah Indonesia mahal, diekspor dengan harga mahal, dan yang diimpor dengan harga murah.

Tetapi ada dokumen lain lagi yang menunjukkan bahwa jumlah uang yang dibayar untuk mengimpor lebih besar dari perolehan uang hasil ekspor untuk kuantitas yang sama.

Lantas ada segepok dokumen lagi yang menunjukkan bahwa tahun demi tahun apa yang dinamakan "perubahan persediaan" (stock variance) jumlahnya sama terus, yaitu sekitar Rp1,558 triliun setahun dari 1999-2005. Ini kan aneh!

Pos ini ialah untuk menjamin agar iron stock terjaga. Tetapi angkanya kok bisa sama terus?

Ada dokumen yang memuat angka-angka harga pokok BBM Pertamina. BUMN ini membukukan membeli minyak mentah yang menjadi hak bangsa Indonesia sendiri dengan harga internasional.

Kalau Pertamina membayar [dengan] harga ini sehingga muncul di bukunya sebagai biaya, lantas siapa yang menerima dan di mana munculnya angka tersebut? Apakah dalam pembukuan Departemen Keuangan dalam perkiraan-perkiraan buku besar yang membukukan urusan BBM?

Lalu apakah terbuka untuk umum? Kalau tidak, mengapa? Bukankah itu milik rakyat?

Sebagai kader partai politik dan mantan anggota Komisi IX DPR (ketika itu), saya tentu banyak bertanya dan meminta data. Tetapi saya tidak pernah memperoleh data yang lengkap.

Maka saya mengusulkan kepada partai saya, PDI Perjuangan, supaya menggunakan hak angketnya untuk masuk sedalam-dalamnya pada pembukuan Pertamina dan Departemen Keuangan tentang migas. Tetapi hal ini tidak dihiraukan.

Lantas apa yang mau di-oposisi oleh PDI Perjuangan? Wong diberi umpan yang empuk saja tidak bisa mencerna!

UU Migas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pemerintah tidak mempedulikannya, bahkan mengejek dengan menggunakan pasal yang krusial dalam UU Migas sebagai konsiderans utama untuk menaikkan harga BBM secara gila-gilaan yang menyengsarakan rakyat banyak.

Mahkamah Konstitusi melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kebijakannya menaikkan harga BBM menyalahi konstitusi. Juga dicuekin.

PDI Perjuangan, yang katanya mau oposisi dan membela wong cilik lagi, sampai sekarang masih tenang-tenang saja! Kalau saja PDI Perjuangan menggugat secara resmi, dapat dipastikan Mahkamah Konstutusi pasti segera menggelar sidang.

Gugatan Pak Amien Rais mutlak harus didukung dan ditindaklanjuti oleh para anggota DPR sebagai wakil rakyat yang memiliki semua sumber daya mineral kita. Kalau tidak mau, tidak bisa, dan tidak mampu, ya lebih baik tidak ada demokrasi. Lebih baik diktator saja, dan kita mencari seorang diktator yang baik.

sumber: