Kasus Newmont, KLH Konsultasi dengan Kejagung

Kasus Newmont, KLH Konsultasi dengan Kejagung

Suara Pembaruan, 18 November 2005

 

JAKARTA - Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) masih berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menolak gugatan mereka terhadap PT Newmont Minahasa Raya (NMR) atas perbuatan melawan hukum pencemaran lingkungan di Teluk Buyat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

Deputi Penataan Lingkungan KLH Hoetomo mengatakan pihaknya selaku penggugat sedang melakukan konsultasi dengan Kejaksaan Agung dan instansi lainnya untuk melakukan banding. "Konsultasi sedang kami lakukan dengan Kejaksaan Agung yang mewakili kami dalam penuntutan itu. Sesuai dengan undang-undang, kami masih memiliki 14 hari untuk melakukan banding setelah putusan itu dibacakan oleh majelis hakim," ujarnya saat dihubungi Pembaruan di Jakarta, Kamis (17/11).

"Secara pribadi saya kecewa dengan keputusan hakim karena dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyebutkan bahwa KLH tidak berhak untuk melakukan gugatan itu, padahal dengan jelas sekali dalam UU No 23/1997, kami berhak melakukan gugatan atas dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah Indonesia," tambahnya.

Sementara itu sejumlah aktivis lingkungan menyebutkan putusan PN Jaksel merupakan pukulan telak terhadap pemerintah dalam upaya menegakkan hukum lingkungan di Indonesia. Mereka menyebutkan hal ini menjadi pelajaran yang berharga untuk pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.

Sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), dan praktisi hukum lainnya berkumpul di Kantor Jatam, Jakarta, kemarin.

Menyikapi putusan majelis hakim itu, Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad menyatakan ada persepsi yang salah dalam pertimbangan majelis hakim.

"Majelis hakim hanya berpatokan pada pasal-pasal dalam kontrak karya yang dilakukan antara pemerintah dan PT Newmont, padahal gugatan yang dilakukan itu merupakan gugatan publik," ujarnya.

Harus Banding

Sementara itu, Direktur ICEL Indro Sugiantoro menyebutkan pemerintah (KLH) harus melakukan banding sebagai kewajiban yang dikuasakan kepadanya dalam melakukan upaya penjagaan lingkungan di Indonesia. "Kalau pemerintah tidak banding mereka malah bisa kena gugatan dari rakyat Indonesia karena melakukan perbuatan melawan hukum," ujarnya.

Indro menyatakan putusan majelis hakim PN Jaksel ini bisa menjadi yurisprudensi majelis hakim lainnya dalam menangani perkara sejenis.

"Ini bisa menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Saat ini kita bisa melihat bagaimana perusahaan asing bisa kebal dari hukum-hukum Indonesia. Kalau ini terus-terusan terjadi, negara ini benar-benar dijajah," tambahnya.

Namun ia menambahkan bahwa putusan PN Jaksel seharusnya tidak bisa menjadi pertimbangan hukum majelis hakim PN Manado yang saat ini sedang menangani perkara pidana dengan terdakwa Direktur PT NMR Richard B Ness dan PT NMR dalam perkara dugaan pencemaran lingkungan.

"Seharusnya tidak bisa jadi pertimbangan hukum, karena perkara pidana dan perdata berbeda jenisnya. Selain itu putusan majelis hakim tidak menyinggung materi perkara," ujarnya.

Sedangkan Koordinator Jatam Siti Maemunah kembali menyinggung tentang sistem kontrak pengelolaan sumber daya alam, khususnya pertambangan. Sistem kontrak dalam pengelolaan bahan tambang di Indonesia tidak memiliki keuntungan bagi rakyat Indonesia.

"Kontrak yang dimiliki Indonesia mulai dari generasi pertama hingga generasi ketujuh tidak ada yang menguntungkan rakyat, semua sama saja. Apalagi semua kontrak pertambangan dengan perusahaan asing menggunakan celah arbitrase internasional untuk menyelesaikan perkara," ujarnya.

sumber: