Kami Menjual Karbon Siapa Mau Beli?

KOMPAS - JUDUL di atas agaknya dapat menggambarkan secara sederhana bagaimana mekanisme pembanguan bersih atau clean development mechanism (CDM) bekerja. Lebih jelasnya, melalui CDM, negara berkembang melaksanakan proyek-proyek yang mampu menekan emisi atau meningkatkan penyerapan karbon, sementara negara maju yang menhasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) memberi dana kompensasi untuk itu.

Akan tetapi mekanisme itu baru dapat berjalan bila suatu negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. Indonesia termasuk salah satu negara yang belum meratifikasi Protokol Kyoto, yang ditandatangani pada tahun 1997.

Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, mengibaratkan, Indonesia punya "toko" yang menawarkan penyerapan karbon dan penurunan emisi, akan tetapi "toko" tersebut belum pernah dibuka. Sehingga negara-negara yang ingin membeli mencari ke "toko" lain.

Selama ini, Indonesia yang memiliki hutan tropis yang sangat luas, tidak pernah mendapat kompensasi melalui CDM, dari negara maju yang membuang emsi. "Padahal, untuk hutan Leuser (di Sumatera) saja, Indonesia bisa mendapat 18 juta dollar AS per tahun melalui carbon trade itu," kata Nabiel.

Hingga saat ini sebanyak 122 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto, terdiri dari 32 negara maju dan 90 negara berkembang. Negara ASEAN yang telah meratifikasi adalah Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Protokol Kyoto yang mengamanatkan negara-negara maju menurunkan emisi rata-rata lima persen dari tingkat emisi tahun 1990, dalam periode 2008-2012, akan efektif (entry into force) apabila negara maju meratifikasi dengan jumlah emisi GRK mencapai 55 persen. Saat ini baru mencapai 44,2 persen.

Andai saja Amerika Serikat dengan emisi 36 persen, atau Rusia yang emisinya 17 persen, maka otomatis Protkol Kyoto sudah entry into force. "Kalau kita belum juga meratifikasi dan negara-negara maju itu memberikan carbon trade kepada negara berkembang lain, kita tinggal gigit jari," ujar Nabiel.

DALAM kurun 150 tahun sejak revolusi industri (1850), peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khusunya karbon dioksida (CO2) mengalami peningkatan dari yang semula 290 ppmv (part per million by volume) menjadi 350 ppmv.

Apabila pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, diperkirakan 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dari zaman pra-industri, atau mencapai sekitar 580 ppmv.

Hal itu akan mengakibatkan suhu rata-rata Bumi meningkat hingga 4,5 derajat Celcius, yang akan berdampak luar biasa bagi kelestarian lingkungan dan kehidupan manusia. Dampaknya terhadap pemanasan global dan perubahan iklim saat ini sudah terasa.

Tanpa upaya menekan laju emisi GRK, maka Indonesia akan mengalami peningkatan suhu rata-rata yang mengakibatkan pola hujan tidak menentu, sehingga menyebabkan banjir dan longsor, serta kekeringan.

Pemanasan global juga diperkirakan akan menaikkan permukaan air laut setinggi 60 cm, pada tahun 2070, yang mengancam kehidupan penduduk di wilayah pesisir. Meningkatnya frekuensi penyakit yang ditularkan nyamuk, seperti yang terjadi sekarang, juga merupakan dampak pemanasan global. (NASRU ALAM AZIZ)

sumber: