Kaltim ’menggugat’ penambangan di hutan lindung: Bagian pertama dari dua tulisan

 

Bergulirnya UU Nomor 22/1999, tentang Pemerintahan Daerah atau yang dikenal dengan Otonomi Daerah (Otda), ternyata belum sepenuhnya mengamankan pelestarian lingkungan di daerah karena sebagian kewenangan masih di tangan pemerintah pusat.

Salah satu kewenangan itu adalah penerbitan izin kuasa pertambangan yang masih menjadi kekuasaan pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini.

Tidak heran jika terdapat kawasan pertambangan, khususnya di Kalimantan Timur rusak, akibat kegiatan pertambangan batu bara secara terbuka dengan meninggalkan lahan kritis dan lubang-lubang besar.

Lebih parah lagi, ternyata pemerintah pusat juga menerbitkan izin penambangan di kawasan hutan lindung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), Nomor 1/2004.

Keluarnya aturan tersebut langsung mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan di Kaltim, baik dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), legislatif, bahkan eksekutif karena pemerintah pusat dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam.

Kecaman itu datang dari legislatif Kaltim yang disampaikan anggota Komisi C DPRD Kaltim, Ridwan Suwidi, yang juga anggota Pansus Lingkungan.

Dia mengatakan agar izin-izin itu segera dicabut karena dikhawatirkan dapat memancing masyarakat menebang kayu di kawasan hutan lindung.

"Apabila tidak dilakukan pencabutan terhadap izin penambangan itu, lebih baik status sebagai hutan lindung dicabut secara keseluruhan dan membebaskan masyarakat untuk melakukan penebangan kayu di kawasan tersebut," tegasnya.

Pernyataan itu merupakan protes keras terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dinilai dengan mudahnya memberikan kebijakan penambangan batu bara di kawasan hutan lindung yang berarti merusak lingkungan akibat penebangan hutan, sebelum penambangan.

"Kalau begini caranya sekalian saja ditiadakan istilah hutan lindung, sehingga masyarakat dengan bebas menebang kayu, setelah itu baru ditambang" ujar Ridwan.

Pemerintah pusat dinilai telah bertindak sewenang-wenang pada daerah karena tidak memikirkan dampak yang lebih besar dari kebijakan yang tidak bijaksana itu.

Dengan keluarnya izin tersebut, maka bisa dikatakan yang membuat rusaknya hutan adalah kebijakan pemerintah pusat sendiri.

Selama ini, kata Ridwan, apabila pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan, pemerintah pusat selalu menekan dan membuat penolakan tegas, padahal logikanya orang di daerah lebih tahu persoalan daerahnya.

"Kita tidak terima dengan bentuk ketidakadilan dan ketimpangan antara kebijakan pusat dengan daerah. Jangan daerah yang terus disalahkan, sementara pemerintah pusat maunya menang sendiri dalam membuat aturan dan mengeluarkan izin," kata Ridwan.

Diskriminasi

Dia juga menilai selama ini pemerintah pusat menerbitkan izin penambangan di kawasan hutan lindung hanya kepada perusahaan besar saja, sementara perusahaan kecil di daerah yang meminta kebijakan yang sama tidak pernah diberi izin.

Apabila ingin menyelamatkan hutan, semua elemen harus konsekuen. Jangan karena pertimbangan investasi, menyebabkan hutan lindung sebagai komoditas dan jadi korban untuk ditambang.

"Apabila ingin rusak hutan, rusakan saja semua. Kalau ingin dilestarikan, cabut semua izin tambang yang sudah diberikan di daerah-daerah, terutama di Kaltim yang dikhawatirkan berakibat buruk pada lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi tambang," lanjutnya.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Syarifuddin, yang menilai kebijakan penanganan hutan lindung berada di tangan pemerintah pusat, justru digunakan untuk merusak hutan.

Izin penambangan di kawasan hutan lindung lebih mengutamakan pertimbangan ekonomis, sementara dampak kerusakan lingkungan bagi kehidupan masyarakat diabaikan

sumber: