Jangan Panik! Produksi Minyak Indonesia Turun dan Impor Naik

 

Kompas, 8 Juli 2004 - JANGAN panik! Dua kata itu dilontarkan mantan Menteri Pertambangan Subroto menanggapi BP Statistical Review of World Energy 2004, yang menyebutkan bahwa produksi minyak Indonesia menurun 8,6 persen dari 1,288 juta barrel per hari tahun 2002 menjadi 1,179 juta bph pada tahun 2003. Padahal, konsumsi BBM di dalam negeri pada tahun yang sama meningkat 1,5 persen dari 1,115 bph menjadi 1,131 bph pada tahun 2004.

ALASAN Subroto, pemerintah telah menandatangani sejumlah kontrak kerja sama dengan investor untuk mengelola wilayah kerja pertambangan migas di Indonesia. Jadi, produksi Indonesia akan kembali meningkat, melampaui kebutuhan impor minyak sehingga tak bakal menjadi net importir minyak secara permanen.

Akan tetapi, terlepas dari sikap optimis Subroto yang juga mantan Presiden OPEC, produksi negara Asia lainnya seperti China, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Vietnam mengalami peningkatan. Hal itu menunjukkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di negara tersebut berjalan dengan baik karena investasi mengalir terus.

Secara global sesuai angka statistik BP, produksi minyak dunia pada tahun 2003 mencapai 76,777 juta barrel per hari (bph) atau naik 3,8 persen dibandingkan dengan produksi tahun 2002 yang hanya 74,065 juta bph. Sementara, konsumsi minyak dunia pada tahun 2003 mengalami kenaikan 2,1 persen, dari 76,631 juta bph pada tahun 2002 menjadi 78,112 bph.

Menurut BP statistik, laju pertumbuhan konsumsi minyak mentah rata-rata dalam 10 tahun terakhir 1,6 persen. Konsumsi minyak mentah terlihat di seluruh belahan dunia, terutama di wilayah Asia Pasifik yang mencapai 860.000 bph atau naik 4 persen dibandingkan dengan konsumsi tahun sebelumnya. Namun, produksi minyak dunia tetap mampu mengimbangi peningkatan konsumsi.

Menurut Kepala Analisis Energy BP Plc Michael D Smith, perdagangan minyak mentah dunia pada tahun 2003 dipengaruhi oleh serangan AS ke Irak, gangguan produksi di dua negara Venezuela dan Nigeria, pertumbuhan ekonomi dunia- khususnya dengan China-pengurangan pemakaian energi nuklir, dan penurunan produksi dari negara anggota OPEC.

Sementara itu, catatan penting selama tahun 2003, Michael menjelaskan bahwa pada tahun 2003 harga minyak mulai melonjak. Sementara, konsumsi meningkat akibat pemulihan ekonomi dunia. Namun, cadangan minyak tidak menjadi hambatan dalam memenuhi kebutuhan dunia. Pasalnya, cadangan terbukti dunia yang telah ditemukan hingga akhir tahun 2003 mencapai 1.147,7 juta barrel.

MENGATASI kesenjangan antara produksi dan konsumsi minyak mentah di Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengatakan dua hal yang akan dilakukan pemerintah. Antara lain, meningkatkan upaya intensifikasi eksplorasi minyak bumi di semua cekungan hidrokarbon yang ada dan melakukan diversifikasi energi secara lebih cepat dengan memanfaatkan potensi gas bumi dan batu bara.

Dalam Kebijakan Energi Nasional sebenarnya telah ditentukan secara eksplisit tentang target pengembangan energi terbarukan. Target yang dipatok adalah sebesar 5 persen di luar pemanfaatan energi tenaga air skala besar yang sudah ada. Pemerintah mendorong semua pihak melakukan langkah konkret bagi implementasi konservasi energi. Tujuannya tak lain adalah agar laju pertumbuhan konsumsi minyak bumi dapat ditekan sehingga pemanfaatan energi menjadi lebih efisien dan efektif.

Indonesia memang harus kerja keras menaikkan produksi agar tidak tergantung pada impor. Pasalnya, dengan permintaan dunia yang tetap tinggi, harga menjadi tidak stabil dan gampang terpengaruh oleh faktor nonfundamental.

Apalagi, OPEC World Energy Model (OWEM) memperkirakan, permintaan minyak mentah dalam dua dekade mendatang masih didominasi oleh minyak bumi. Sebab, jenis energi lainnya belum punya pasar dan infrastruktur kurang memadai.

Berdasarkan data OWEM, permintaan minyak dunia pada periode jangka menengah (2002-2010) diperkirakan akan tumbuh 1,8 persen per tahun, atau meningkat sebesar 12 juta bph menjadi 89 juta bph.

Sedangkan pada periode berikutnya (2010-2020), permintaan akan tumbuh lagi menjadi 106 juta bph dengan tambahan sebesar 17 juta bph. Pada tahun 2025 permintaan minyak mentah dunia masih akan meningkat lagi hingga 115 juta bph dengan pertumbuhan rata-rata 1,7 persen per tahun pada periode 2010-2025.

Meskipun permintaan minyak dunia masih didominasi oleh negara-negara maju, tetapi hampir 75 persen dari kenaikan sebesar 38 juta bph selama periode 2002-2025 itu diserap oleh negara-negara berkembang. Faktor utama yang memacu kenaikan permintaan tersebut adalah pertumbuhan perekonomian dunia, khususnya di negara-negara berkembang.

Dari sisi pemasok, pada periode 2002-2010 pasokan minyak non-OPEC mengalami peningkatan tipis atau sebesar 6,8 juta bph, dari 47,8 juta bph pada tahun 2002 menjadi 54,6 juta bph di tahun 2010. Sedangkan OPEC naik 4,9 juta bph dari 29,2 juta bph pada tahun 2002 menjadi 34,1 juta bph di tahun 2010. Pada periode 2010-2025 pasokan OPEC meningkat hingga menjadi 58,3 juta bph 2025, sedangkan non-OPEC menurun dibandingkan dengan OPEC, yaitu 56,3 juta bph.

Purnomo mengatakan, kenaikan permintaan minyak dunia akan ditutupi oleh produksi negara yang memiliki cadangan minyak bumi yang relatif besar. Terutama negara anggota OPEC yang berada di wilayah Timur Tengah.

Purnomo yang juga Presiden OPEC mengatakan, kenaikan konsumsi minyak mentah sebenarnya merupakan hal yang wajar karena diversifikasi energi di dunia memang belum jalan dengan baik. Sampai saat ini minyak bumi masih sulit tergantikan oleh jenis energi lainnya, terutama di negara-negara berkembang.

PERSOALAN pertumbuhan konsumsi minyak mentah sebenarnya bukan hanya menjadi perhatian Indonesia saja, melainkan juga dicemaskan oleh semua negara, terutama yang tidak memiliki produksi. OPEC memperkirakan, konsumsi minyak dunia pada tahun 2004 akan naik 1,8 juta bph menjadi 80,40 juta bph. Konsumsi minyak mentah negara China akan tumbuh paling tinggi atau sekitar 13 persen mencapai 6,29 juta bph. Konsumsi itu akan ditutupi oleh produsen minyak non-OPEC sebesar 53,85 juta bph, sisanya dipasok oleh anggota OPEC. Pertumbuhan konsumsi minyak didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan mencapai 4,7 persen pada tahun ini.

Selain itu, peningkatan konsumsi juga didorong oleh pengaruh perubahan musim yang cenderung lebih dingin dari biasanya pada tahun ini. Hal itu memacu permintaan minyak bagi keperluan pemanasan (heating oil).

Jika perkiraan pertumbuhan konsumsi dan pasokan minyak tersebut benar-benar terjadi, maka dikhawatirkan harga minyak tidak dapat dipertahankan tetap berada di kisaran harga OPEC, antara 22 hingga 28 dollar AS per barrel. Seperti halnya yang terjadi pada bulan April lalu, harga minyak OPEC mencapai rekor tertinggi sejak Oktober 1990, yakni sebesar 32,35 dollar AS per barrel.

Menanggapi kenaikan harga minyak yang diduga sebagai akibat peningkatan permintaan, Purnomo menjelaskan, dari sisi produksi minyak mencukupi dan tidak dikhawatirkan. Bahkan stok minyak komersial di AS mencapai 970 juta barrel pada 30 April 2004 atau naik 14,2 juta barrel dari stok tanggal 2 April 2004 .

Purnomo juga menjelaskan bahwa pangsa pasar OPEC masih di bawah non-OPEC atau di bawah 40 persen sehingga kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini berada di luar kontrol OPEC. Kenaikan harga minyak yang di luar perkiraan itu sebenarnya disebabkan oleh faktor nonfundamental.

Jika benar harga minyak dipengaruhi oleh faktor nonfundamental, berarti Indonesia harus meningkatkan produksi agar tidak bergantung pada impor. Pasalnya, Indonesia akan terus defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika harga minyak mentah mendadak naik.

Sebenarnya APBN 2004 sudah goyah ketika harga minyak mentah sempat bertahan di atas 40 dollar AS per barrel. Pasalnya, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS dari target APBN yang hanya 22 dollar AS, memaksa pemerintah menambah subsidi harga BBM Rp 2 triliun dan berakibat defisit Rp 700 miliar hingga Rp 800 miliar. (BUYUNG WIJAYA KUSUMA)

sumber: