Jangan Menunggu Pulau Sebuku Tenggelam

 

LENGKAP sudah penambang Indonesia dalam mengoyak Bumi Pertiwi. Jika di daratan luas mereka memotong dan meratakan gunung, di pulau kecil mereka menggasak cagar alam dan mematikan sungai untuk diambil batu baranya. Itu semua terjadi atas persetujuan Pemerintah Indonesia yang pusatnya di Jakarta.

Agustus 1995, Kompas mencatat Lembaga Wahana Indonesia Muda (LWIM) Kalimantan Selatan mengimbau Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Gusti Hasan Aman dan Bupati Kota Baru Bektam agar membatalkan eksploitasi penambangan batu bara oleh PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) di Pulau Sebuku Kabupaten Kota Baru.

Sebab, menurut LWIM, di pulau seluas 27.000 hektar yang merupakan salah satu pulau kecil dari 26 pulau kecil di Indonesia tersebut terdapat hutan lindung dan cagar alam yang harus dilestarikan.

Jika penambangan dilaksanakan, tidak saja akan menggilas cagar alam dan hutan lindung, tapi juga akan mengganggu 4.200 jiwa penduduk yang lama hidup damai sebagai nelayan tradisional.

Bupati Kota Baru Bektam waktu itu menyatakan aktivitas penambangan batu bara di Pulau Sebuku, baik dalam eksplorasi maupun eksploitasi, tidak akan merusak cagar alam dan hutan lindung. Gubernur Kalsel Gusti Hasan Aman waktu itu juga menjamin penambangan tidak akan menenggelamkan pulau tersebut.

Maret 1999, Kompas mencatat beberapa Cagar Alam Selat Sebuku telah diubah fungsinya menjadi hutan produksi tetap. Kawasan seluas 6.650 hektar yang merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan bakau dipinjam pakai untuk PT BCS.

BCS merupakan perusahaan pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi II. Luas arealnya sebesar 5.880 hektar yang mulai berlaku 15 Agustus 1994. Saham BCS dipegang PT Reyka Wahana Digjaya (Indonesia) sebesar 20 persen den Straits Sebuku Pte Ltd (Singapura) 80 persen.

Pada tahun 2002-2003, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menduga BCS terus mendapatkan keleluasaan menambang di Cagar Alam Selat Sebuku. Akibatnya, Cagar Alam Selat Sebuku semakin menyempit dan jaminan Bupati Kota Baru Bektam waktu itu bahwa cagar alam tidak akan disentuh hanya tinggal pemanis bibir saja.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Berry N Forqan, untuk menambang kawasan lindung dan mengeruk sungai, BCS berbekal rekomendasi berbagai pihak agar Jakarta mengizinkannya.

"Penambangan di areal cagar alam dan pengerukan sungai ini mendapat rekomendasi berbagai pihak, mulai pejabat hingga lembaga akademis," kata Berry.

Berry menyesalkan sebuah lembaga akademis di Kalsel yang dengan mudah mengeluarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan menganggap penggusuran sungai untuk tambang adalah sah, secara ekologi maupun sosial. Dokumen amdal tersebut menurut Berry baru dikerjakan setelah proyek berjalan dan diprotes warga.

Bagi warga Pulau Sebuku, pertambangan di pulau kecil tersebut menyisakan bara perjuangan yang hingga kini masih menyala. Sejak BCS berusaha masuk ke Pulau Sebuku, warga sudah memprotesnya karena rendahnya ganti rugi tanah.

"Waktu itu tanah di sini hanya dihargai Rp 150 per meter persegi. Jadi harga tanah di sini lebih murah daripada sebatang rokok," kata Haji Amir, Pembakal (Kepala Desa) Desa Kanibungan.

Keterisolasian membuat warga menerima saja ketidakadilan di daerah mereka. Namun, akhirnya mereka mempunyai ide menyewa pengacara di kota untuk memperjuangkan nilai ganti rugi yang manusiawi. Dengan disertai demo besar-besaran, usaha itu membuahkan hasil sekitar tahun 1998.

"Mulai waktu itu harga tanah menjadi Rp 1.500 per meter persegi," kata Amir. Beberapa tahun sejak harga tanah naik hubungan perusahaan dengan warga membaik.

Desa sekitar tambang diperhatikan perusahaan mulai dari pembangunan balai desa, sumbangan kepada sekolahan, hingga jalan desa. Beberapa instalasi air bersih yang kini terlihat di Desa Kanibungan merupakan sumbangan BCS.

Selain itu, perusahaan juga merekrut tenaga kerja dari desa sekitar untuk tenaga kerja kasar. "Banyak yang diajari menjadi sopir kemudian sampai sekarang tetap bekerja di BCS," kata Amir.

Namun, akhir-akhir ini warga kembali mempertanyakan kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap mata pencaharian mereka. Para nelayan kini kesulitan mencari ikan dan lokasi sawah mereka juga makin tercemar.

Beberapa ruas sungai, hamparan rawa, dan hutan mangrove yang menjadi penyangga Pulau Sebuku kini makin rusak. Untuk menyadari bahwa penambang di pulau kecil tersebut sangat destruktif seharusnya pemerintah tidak perlu menunggu bukti bahwa Pulau Sebuku bisa tenggelam.

sumber: