Jalan Berliku Warga Buyat

Kompas, JALAN berliku, rusak, dan diselingi jurang terjal pada beberapa ruas menuju Pantai Buyat sepanjang 110 kilometer sebanding dengan kehidupan warga di sana. Pencemaran laut di Teluk Buyat yang diduga berasal dari limbah tailing pertambangan emas PT Newmont Minahasa Raya seolah menggenapi kesulitan ekonomi yang diderita warga bertahun-tahun.

AKAN tetapi, tampaknya pencemaran itu dianggap biasa, angin lalu yang sewaktu-waktu bisa ditanggapi atau tidak, tergantung "nilai" kepentingan pemerintah. Tim independen yang dibentuk Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) kerap dinilai tak independen karena ukuran penilaian pencemaran tak obyektif.

"Kami sudah teriak, protes soal pencemaran, tetapi seolah tak ada arti," kata Rignolda Djamaludin, Direktur Yayasan Kelola Sulawesi Utara-salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberi advokasi untuk warga Buyat.

Laut yang menjadi harapan dan aliran Sungai Buyat di lokasi permukiman penduduk, yang memberi banyak arti bagi kehidupan warga, telah berubah menjadi "monster" pemangsa manusia.

Mereka seperti kehilangan asa. Tak ada lagi tempat menggantungkan hidup. Di sana memang tidak ada lahan pertanian atau perkebunan yang menjadi alternatif untuk kelanjutan hidup.

"Kami ini generasi benjol yang siap menunggu kematian," kata Mansyur Lombonaung. Yang dimaksud benjol adalah tubuh yang dipenuhi benjolan-benjolan misterius, seperti yang sekarang dialami 24 warga setempat.

Informasi medis yang diperoleh Mansyur dari para ahli kesehatan menyebutkan, benjolan bisa diindikasikan sebagai tumor, dan itu bisa mematikan para penderitanya. Hal tersebut timbul akibat warga terkontaminasi logam berat.

Mansyur merupakan tokoh masyarakat yang dikenal cukup kritis dalam menyikapi kebijakan pembuangan limbah PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Suatu waktu ia berkirim surat ke Kantor Pusat PT NMR di Amerika Serikat. Ia meminta pertanggungjawaban perusahaan terhadap nasib yang dialami warga Buyat.

Benjolan itu sendiri muncul pada tahun 2000 dan diduga kuat saat itu PT NMR mulai membuang seluruh limbah penambangan emas mereka ke Teluk Buyat melalui pipa baja.

"Dulu tidak ada penyakit seperti ini," kata Mansyur. Hal itu dibenarkan oleh beberapa warga yang mengaku mengalami gatal, kesemutan, dan kejang setelah mengonsumsi ikan hasil tangkapan di Teluk Buyat.

Tidak itu saja, Sungai Buyat, yang oleh kalangan LSM di Sulut diidentifikasi telah tercemar air limpasan pertambangan emas dari pabrik PT NMR, sudah tidak aman bagi masyarakat untuk aktivitas ekonomi. "Setiap selesai mandi di sungai, kami merasakan gatal di seluruh tubuh," kata Salma (31), ibu rumah tangga.

Dahsyatnya pengaruh limbah telah dirasakan sebagian warga Buyat. Alan Makalalag (26), penderita minamata, mengatakan, benjolan pada pelipis kanan yang tumbuh sejak dua tahun lalu, yang ukurannya sebesar kelereng, telah mengganggu aktivitas hidupnya. Ia kerap mengalami kram dan kemampuan penglihatannya pun terasa berkurang.

"Di dalam mata seperti ada suatu benda yang mengganggu penglihatan. Biasanya terasa kram diikuti rasa sakit," katanya.

NASIB buruk dialami Risnawati Papure (9), yang terpaksa putus sekolah dari kelas I sekolah dasar karena tidak kuat berjalan. Menurut ayahnya, Jafar Papure, pada kaki Risnawati terdapat benjolan yang membuat daya tahan tubuh anaknya menurun. Kadang ia mengerang kesakitan.

Selama ini Risnawati harus berjalan kaki sepanjang satu kilometer untuk ke sekolah terdekat. Akan tetapi, setelah muncul benjolan di sekitar lipatan kaki kanan belakang dua tahun lalu, Risnawati terpaksa mundur dari sekolah. Ia tak kuat berjalan jauh.

Dari cerita ayahnya, suatu waktu Risnawati harus dipanggul pulang dari sekolah. Melihat kondisi itu, Jafar mengambil keputusan untuk memberhentikan anaknya dari sekolah. "Untuk berobat, kami tidak punya uang. Bapak lihat sendiri kehidupan kami, mau makan saja susah," kata Jafar di rumahnya yang berdinding bambu dan sebagian tampak bolong. Rumah tempat tinggal keluarga Jafar berukuran 3 x 4 meter.

KEHIDUPAN warga Pantai Buyat cukup memprihatinkan. Hendrik Lenzun (46), ayah dari Andini Lenzun, bayi yang meninggal pada 3 Juli lalu, mengatakan terpaksa bekerja serabutan demi mencari sesuap nasi.

Ketika ditemui, Hendrik tengah menyapu pantai Buyat yang merupakan "proyek" dari PT NMR. Sehari Hendrik mendapat upah Rp 25.000. "Kalau tidak ada proyek, saya biasa melaut," katanya.

Hendrik lalu mengisahkan derita Andini yang sejak lahir kulitnya telah bersisik warna hitam, yang kadang terasa panas di sekujur tubuhnya. Andini memang tidak tercemar secara langsung oleh air pantai atau air sungai di Buyat, tetapi gangguan kesehatan yang dialami bayi itu besar kemungkinan berasal dari ibunya.

Ibu Andini, kata Hendrik, sering mengonsumsi ikan kerapu dan tak jarang mandi di pantai serta Sungai Buyat. Ikan kerapu sendiri adalah sejenis ikan karang. Karang di Teluk Buyat telah tercemar limbah logam berat.

Ketika penyakit itu muncul pada Andini, Hendrik mengaku kesulitan untuk mengobatinya. Masalah klasik, ketiadaan uang, menghantui keinginan Hendrik untuk menyembuhkan anaknya. Setiap kali ke dokter Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ratatotok, ia mengaku harus menjual ayam sebagai biaya pengobatan.

Bahkan, lanjutnya, ia sempat emosi ketika dokter Puskesmas Ratatotok, Sandra Rotty, mengatakan bahwa penyakit Andini adalah penyakit kulit biasa akibat kekurangan gizi. "Andini meninggal dunia setelah menjalani beberapa kali pengobatan di puskesmas," ucap Hendrik dalam nada sendu.

Dokter Sandra Rotty menyatakan telah beberapa kali memberi rujukan kepada orangtua Andini untuk berobat ke Manado. "Namun, saran-saran saya seperti diabaikan. Secara medis Andini memang kekurangan gizi," katanya.

Untuk memastikan segalanya memang perlu penelitian yang mendalam dan obyektif.

sumber: