Investor Tambang Berencana Hengkang
Investor Tambang Berencana Hengkang
Suara Pembaruan, 13 Januari 2005
ÂÂ
Dalam dua atau tiga tahun mendatang potensi kehilangan investasi itu akan lebih besar hingga tiga kali lipat, karena sejumlah perusahaan tambang multinasional, yang telah puluhan tahun beroperasi, berencana mengalihkan investasinya ke negara lain.
\'\'Nantinya hanya dua perusahaan besar, seperti Freeport dan PT International Nickel Indonesia (Inco), yang akan bertahan di Indonesia karena kebetulan kontrak karya yang dimiliki masih panjang. Sedangkan perusahaan-perusahaan besar lainnya akan beralih ke negara lain yang dinilai lebih menarik dan ada jaminan bagi i nvestasinya. Ini semua terjadi karena pemerintah tidak mengakomodasi harapan para investor,\'\' ungkap Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Soemarno di Jakarta, Rabu (11/1).
Dikemukakan, akibat banyaknya hambatan terutama masalah tumpang tindih kebijakan dengan sektor lain dan ketidakjelasan aturan antara pemerintah pusat dan daerah, sektor pertambangan
Ditambah lagi, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Mineral dan Batu Bara yang kini dalam proses pembahasan di DPR dinilai tidak berpihak pada investor, sehingga dikhawatirkan akan memperburuk iklim investasi sektor pertambangan.
Kendala Peraturan
\'\'IMA akan mempertanyakan kepada pemerintah dan juga rakyat
Menurutnya, selama lebih dari
Diungkapkan, saat ini delapan proyek pertambangan skala besar tertunda kelanjutan operasionalnya akibat kendala peraturan.
Tahun lalu beberapa dari proyek pertambangan itu seharusnya sudah beroperasi, karena sudah sampai pada tahap eksplorasi dengan nilai investasi total US$ 8 miliar.
Beberapa perusahaan multinasional yang proyeknya terkendala birokrasi itu, di antaranya PT Inco, yang dikabarkan berencana mengalihkan investasi ke negara lain. Sedangkan Rio Tinto, perusahaan pertambangan asal
\'\'Sangat disayangkan kalau banyak investasi besar yang siap masuk ke
Penilaiannya itu didasarkan pada target investasi sektor pertambangan 2006 yang diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, hanya US$ 900 juta atau meningkat US$ 100 juta dari 2005.
\'\'Investasi tahun lalu itu sebenarnya mengacu pada investasi lama. Tahun 2006 seharusnya kita bisa mendapatkan investasi yang riil lebih besar kalau pemerintah serius membenahi kebijakan yang lebih bersahabat dengan industri pertambangan,\'\' ujar Priyo.
Dibantah
Sementara itu, Koordinator Media dan Hubungan Eksternal PT Inco Tbk Rajeshanagara Sutedja yang dikonfirmasi Pembaruan, Kamis (12/1) pagi, membantah bila Inco berencana mengalihkan investasi ke negara lain. Menurut dia, penghentian sementara proyek pembangunan bendungan di Karebe, Sulawesi Selatan, sama sekali tidak terkait dengan masalah investasi.
Proyek bendungan di Karebe terintegrasi dengan proyek optimalisasi produksi PT Inco di tiga provinsi, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Nilai investasi seluruh proyek tersebut sekitar US$ 280 juta. Bersama dengan proyek lainnya, pembangunan bendungan Karebe, yang juga terdiri dari proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi nikel Inco menjadi 200 juta pon per tahun pada 2009. Saat ini kapasitas produksi Inco masih sekitar 160 juta pon.
\'\'Jadi penghentian kegiatan di Karebe bukan karena Inco mengalihkan investasi ke negara lain. Tapi, semata-mata karena ada persyaratan menyangkut perizinan yang belum lengkap sehingga diputuskan untuk menghentikan sementara proyek itu,\'\' kata Sutedja.
sumber: