Investasi Turun Bukan karena UU

Indonesia Bisa Kehilangan Investasi US$ 500 Juta Tiap Tahun

Dok Pembaruan-Purnomo Yusgiantoro

JAKARTA - Suara Pembaharuan - Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan, turunnya investasi di sektor pertambangan bukan disebabkan oleh adanya masalah tumpang tindih areal tambang dengan hutan lindung ataupun otonomi daerah. Tidak tepat jika lahirnya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dituding sebagai penyebab larinya investasi pertambangan. Kelesuan investasi sudah terjadi jauh sebelum adanya dua peraturan itu.

Sedangkan Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Beni N Wahyu mengatakan, kasus Busang pada tahun 1996, merupakan hantaman yang sangat luar biasa bagi sektor pertambangan di Indonesia. Kondisi itu semakin diperparah dengan adanya benturan dengan perundang-undangan sektor lain, terutama UU Kehutanan.

"Setelah saya kaji, sebenarnya UU No 41 dan UU No 22 itu bukan major factor yang menyebabkan turunnya investasi pertambangan. Kedua UU itu lahir tahun 1999, dan sebenarnya masalah investasi sudah terjadi sebelumnya. Saya berpikir, krisis ekonomi tahun 1997 adalah awal masalahnya, kata Purnomo di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, penurunan investasi itu tidak terjadi tepat pada waktu ada implementasi otonomi daerah. UU Kehutanan juga baru ada tahun 1999. Jadi, masalahnya bukan karena otonomi daerah dan tumpang tindih dengan kehutanan.

Dia menambahkan, saat ini pemerintah sudah meminta kepada stakeholders untuk mengkaji secara komprehensif untuk mencari pangkal masalah yang menyebabkan merosotnya investasi sektor pertambangan. Bila hal itu tidak segera ditemukan, Purnomo khawatir Indonesia akan terus kehilangan investasi yang mencapai US$ 500 juta setiap tahun.

Menurut Purnomo, sejak dilanda krisis ekonomi investasi pertambangan terus mengalami penurunan, bahkan sampai sepuluh kali lipat. Bila pada tahun 1998 investasi masih sekitar US$ 2 miliar, pada tahun 2002 anjlok menjadi tidak sampai US$ 200 juta, dan pada 2003 dipastikan menurun lagi.

"Tetapi meskipun investasi mengalami penurunan, produksi perusahaan tambang di Indonesia tetap mengalami peningkatan. Produksi itu memang hasil kegiatan eksplorasi yang sudah dimulai tahun 1990, katanya.

Purnomo juga mengakui, akibat ketidakpastian perkembangan investasi di Indonesia, saat ini banyak investor yang lari ke Cina. Oleh karena itu, Purnomo meminta agar stakeholders secepatnya melakukan kajian menyeluruh agar pertambangan di Indonesia kembali dilirik oleh para investor.

Kepastian Hukum

Sementara itu, Beni N Wahyu mengatakan sektor pertambangan di Indonesia saat ini mengalami kondisi yang sangat buruk. Dia meyakini, masalah di sektor ini mulai dirasakan sejak adanya skandal Busang, yang juga berimbas pada pertambangan di dunia internasional.

Skandal itu benar-benar menghantam kita. Lalu, belum lagi pulih kita sudah dihadapkan pada masalah otonomi daerah dan tumpang tindih dengan kehutanan. Kombinasi dari semua masalah itu yang makin memperburuk sektor pertambangan kita, katanya.

Untuk menarik, investor pemerintah harus serius menyelesaikan masalah benturan peraturan perundang-undangan tersebut. Selain itu dia berharap RUU Pertambangan Umum juga dapat segera diselesaikan. Hal itu, menurut Beni akan menjadi poin yang menarik bagi investor, karena pada dasarnya para investor memerlukan adanya kepastian hukum.

Lahan Reklamasi Rusak

Dari Pangkalpinang dilaporkan, maraknya penambangan inkovensional di daerah reklamasi mengakibatkan semakin meluasnya kerusakan di lahan reklamasi. Di antaranya adalah lahan reklamasi bekas penambangan timah yang diusahakan oleh PT Timah.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Humas PT Timah Abrun Abubakar, belum lama ini. Di Pangkalpinang, kerusakan lahan reklamasi hingga tahun 2003 tercatat 65 persen lebih dari luas areal yang telah direklamasi dengan biaya sebesar Rp 13,8 miliar.

Reklamasi bekas tambang yang telah dilaksanakan oleh PT Timah, yakni di Kecamatan Sungailiat seluas 783,5 hektare (ha) dan mengalami kerusakan seluas 68,99 ha. Kecamatan Belinyu, dari luas lahan reklamasi 838 mengalami kerusakan seluas 18,72 ha. Kecamatan Toboali yang telah direklamasi seluas 730 ha, yang mengalami kerusakan seluas 67,16 ha. Kecamatan Jebus dari 718,5 ha, mengalami kerusakan 29,5 ha. Untuk Kabupaten Belitung dari 1.380 ha yang telah direklamasi, mengalami kerusakan 5,4 ha

sumber: