.Jakarta, Kompas - Pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan besar tetap terjadi pada tahun 2004, dengan persentase 4,7 persen. Namun, hal itu tidak akan memadai untuk mengurangi pengangguran. Hal tersebut juga tidak akan cukup berarti untuk mengurangi kemiskinan dan ketegangan sosial.
Masa penantian terpilihnya presiden baru, apalagi jika harus terjadi pemilihan presiden putaran kedua, akan tetap membuat investor bersikap menunggu, bahkan hingga beberapa saat setelah presiden baru terpilih.
Demikian masalah yang terungkap dari seminar yang diselenggarakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (7/7). Seminar itu antara lain menampilkan pembicara Dr Miranda S Goeltom (Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia), ekonom Dr Hadi Soesastro, Dr Mari Pangestu, dan M Chatib Basri.
Menurut Chatib Basri, ada dua alasan yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004. Pertama, kenaikan konsumsi bahan makanan yang merupakan dampak positif Pemilihan Umum 2004. Faktor kedua adalah pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Hal itu membuat penampilan ekspor Indonesia bisa bertahan, khususnya ekspor yang ditujukan untuk kedua negara tersebut.
Pada tahun 2005 mendatang pertumbuhan ekonomi diramalkan mencapai 5,1 persen. Tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor konsumsi. "Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor konsumsi tidak merupakan pertumbuhan yang berkesinambungan," kata Chatib Basri.
Dalam terminologi ekonomi, rangsangan ekonomi sebaiknya dimulai dengan aliran investasi yang produktif atau menghasilkan, bukan oleh konsumsi yang sifatnya lebih menghabiskan. Oleh karena itu, investasi selalu menjadi andalan utama negara yang menginginkan pertumbuhan berkesinambungan.
Pertumbuhan yang berkesinambungan pada umumnya terjadi pada perekonomian yang didorong oleh investasi. Sayangnya, aliran masuk investasi masih tertinggal dan penampilan ekspor tidak mencengangkan. Lambatnya investasi merupakan refleksi dari masih munculnya berbagai persoalan pada sektor manufaktur.
Lebih buruk lagi, pemilu presiden pada tahun 2004 ini masih menyebabkan tertundanya aliran masuk investasi asing langsung ke Indonesia. Jika Presiden Indonesia terpilih pada bulan September 2004, pelantikannya baru dimulai Oktober 2004. Lalu, beberapa saat setelah pelantikan itu investasi asing juga masih akan bersikap menunggu terhadap penampilan atau kinerja presiden baru.
Padahal, persoalannya untuk Indonesia sekarang ini yang paling penting adalah perlunya investasi untuk segera masuk. "Tanpa investasi asing sulit mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang kuat," kata Chatib Basri lagi.
Menurut dia, sebuah survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kondisi buruk di sektor manufaktur, terutama tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Gambaran lain, kinerja ekspor Indonesia pada periode 1995-2003 tampaknya memperlihatkan pengalihan ke produk berorientasi sumber daya alam. Di sisi lain, daya saing sektor manufaktur terus menunjukkan penurunan, kecuali untuk produk minyak sawit, bahan-bahan percetakan, kertas tulis, dan produk elektronik.
Yang membuat gambaran ekspor Indonesia menjadi lebih runyam adalah daya saing ekspor Indonesia yang menurun. Hal tersebut diperburuk oleh proteksionisme negara tujuan ekspor.
Melihat kondisi ekonomi setelah krisis yang masih memprihatinkan, ditambah lambatnya reformasi kelembagaan, pemulihan ekonomi yang cepat tampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat untuk Indonesia. Iklim investasi juga masih suram, sehubungan dengan masih munculnya berbagai persoalan perburuhan serta kelembagaan dan birokrasi pemerintahan.
Pernyataan Chatib Basri itu senada dengan uraian Daniel Lian, ekonom dari Morgan Stanley Asia. Lian mengatakan, bersama Filipina, Indonesia belum bisa mengharapkan masuknya investasi asing. Alasannya, dua negara ini masih didera masalah birokrasi, keamanan yang merisaukan investor, potensi masalah yang dimunculkan oleh unsur-unsur terorisme, dan lainnya.
Mengabaikan pertanian
Sehari sebelumnya, dari Singapura diberitakan bahwa negara-negara di Asia juga mengalami penurunan kinerja dalam hal ekspor manufaktur. Tampilnya China sebagai penghasil produk manufaktur massal dan murah telah membuat produk serupa buatan Asia di luar China menjadi "limbung".
Oleh karena itu, penasihat ekonomi untuk beberapa negara di Asia menyarankan agar sektor pedesaan dikembangkan untuk memunculkan sumber pertumbuhan baru. Hal itu perlu untuk mengompensasikan turunnya pamor sektor manufaktur, yang terjadi di hampir semua negara Asia.
Namun, seorang ahli pertanian dari Australian National University (ANU), Canberra, Ric Shand, menyatakan keprihatinannya terhadap arah kebijakan ekonomi di Indonesia. Shand mengatakan, pembuat kebijakan ekonomi di Indonesia justru melumpuhkan sektor pertanian dengan mendorong migrasi warga pedesaan ke perkotaan, terutama di Pulau Jawa. Infrastuktur di pedesaan seperti jalan-jalan dan saluran irigasi dibiarkan terbengkalai tanpa perbaikan.
Bukan ancaman
Pada seminar di CSIS itu, para pembicara juga menguraikan dampak pertumbuhan ekonomi di China pada Asia secara keseluruhan dan Indonesia pada khususnya. Dikatakan, pertumbuhan ekonomi China yang pesat bukanlah ancaman bagi Indonesia. Sebab, China bukan saja raksasa ekonomi yang mengekspor berbagai produknya, tetapi juga raksasa lapar yang siap membeli apa saja dari Indonesia. China adalah juga sebuah pasar transit yang dapat mengekspor kembali berbagai komoditas dari Indonesia ke negara-negara lain, termasuk ke AS.
"Tak beralasan untuk menganggap China sebagai kompetitor. Karena China juga sebuah pasar yang sangat besar," kata Chatib Basri.
Menurut dia, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke China pada tahun 2003 justru tumbuh dan mencapai 23 persen. Ini merupakan angka yang tertinggi di antara negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Pada tahun yang sama ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang hanya 3,2 persen dan ke AS justru anjlok, yakni 0,9 persen.
"Dapat diramalkan angka ekspor Indonesia ke China pada tahun 2004 ini akan lebih baik daripada tahun 2003," kata Chatib Basri.
Impor dari China pada tahun 2003 tercatat 7,7 persen dan memperbaiki perimbangan perdagangan Indonesia dengan China.
Indonesia meraih keuntungan dari ledakan perdagangan dengan China, yang dalam waktu cepat telah muncul sebagai pusat jaringan produksi dan pasar ekspor Asia.
Mari Pangestu juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi China bukanlah ancaman bagi Indonesia. China justru harus dilihat sebagai raksasa yang rakus, yang membuka berbagai peluang ekonomi bagi Indonesia.
Hadi Soesastro menambahkan bahwa China sekarang sedang sangat agresif berbelanja ke mana-mana, bahkan sampai ke Kazakhstan. "Yang harus dilakukan adalah mencari cara bagaimana kita dapat ikut memanfaatkan China sebagai ’binatang’ besar yang lapar, yang berbelanja ke mana-mana," katanya.
Ditanya, apakah Indonesia sebaiknya meniru China yang perekonomiannya maju karena adanya pengendalian ketat dari pemerintah, Mari menyatakan tak menganggap kontrol negara atas ekonomi seperti yang terjadi di China sebagai sesuatu yang menguntungkan.
Persoalannya adalah bagaimana Indonesia merestrukturisasi kelembagaan, menciptakan pelayanan yang ramah bisnis, dan lainnya. Jika hal itu dilakukan, ekonomi Indonesia akan maju dan bisa meraih kesempatan meningkatkan pertumbuhan.