Investasi Tahun Ini Bisa Mencapai 900 Juta Dolar AS

Investasi Tahun Ini Bisa Mencapai 900 Juta Dolar AS 

Suara Karya, 5 Januari 2006

 

JAKARTA (Suara Karya): Iklim investasi pertambangan tahun ini diperkirakan akan mulai bergairah dengan masuknya pengembangan wilayah kerja pertambangan oleh 3 kontraktor multi nasional dengan total investasi mencapai 100 juta dolar AS.

"Investasi di sektor pertambangan umum untuk tahun ini diperkirakan akan naik sekitar 100 juta dolar AS menjadi 900 juta dolar AS dibandingkan perolehan investasi 2005 sebesar 800 juta dolar AS," kata Direktur Pengusahaan Mineral dan Batu bara Direktorat Jenderal Mineral Batu bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Mahyudin Lubis di Jakarta, kemarin.

Diakui Mahyudin, peningkatan investasi ini tidak begitu signifikan, namun masuknya ke-3 perusahaan tambang ke fase konstruksi membuktikan investasi tidak mandeg lagi.

Ketiga perusahaan yang akan melakukan kegiatan pertambangan pada fase konstruksi adalah PT Nusa Halmahera Minerals (NHM), PT Dairi Prima Minerals (DPM), dan PT Tambang Batu bara Bukit Asam Tbk (PTBA).

NHM di Maluku Utara dan DPM di Karo, saat ini dalam tahap melakukan konstruksi menuju masa produksi. Sementara PTBA akan membangun 3 pabrik briket dan sejumlah pembangkit berbahan bakar batu bara.

Menurut Mahyudin, jika ke-13 perusahaan tambang yang beroperasi di hutan lindung tidak terkendala perizinan pinjam pakai dipastikan tahun ini bisa menjadi Rp 1 triliun. "Sayangnya, momen ini belum dinikmati sepenuhnya," kata dia.

Dari ke-13 perusahaan baru NHM yang bisa menikmati momen itu. Selebihnya masih menemui masalah tumpang tindih dengan sektor kehutanan. Perusahaan yang dimaksudnya adalah PT Sorik Mas Mining, PT Karimun Granite, PT Pelsart Tambang Kencana, PT International Nickel Indonesia, PT Aneka Tambang Tbk (2 unit wilayah), PT Weda bay Nickel, PT Gag Nickel, PT Freeport Indonesia, PT Natarang Mining, dan PT Indominco Mandiri.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia, Jeffrey Mulyono sempat pesimis jika iklim investasi tahun ini dapat bergairah kembali. Pasalnya, kebijakan pemerintah masih belum mampu melindungi para investor.

"Mungkin hanya perusahaan berskala kecil yang akan melakukan kegiatan pertambangan, sementara perusahaan besar masih menunggu," katanya.

Ia khawatir, jika kondisinya masih tetap sama maka dalam sepuluh tahun mendatang, keadaan ini akan mengancam ketersediaan cadangan pertambangan. karena cadangan yang ada akan habis tanpa ada penggantinya.

Sangat disayangkan, Indonesia hingga saat ini yang berada pada masa pertumbuhan, dan kondisinya lebih buruk dibanding Afrika Selatan.

"Indonesia masih relatif sama dengan Argentina, Peru, Mexico dan Chile dan bahkan hingga kini, negeri ini belum mempunyai peta sumberdaya geologi yang jelas baik di atas permukaan maupun di bawahnya," katanya.

Kini sektor pertambangan di Indonesia hanya dikuasai oleh beberapa gelintir perusahaan pertambangan besar dunia seperti Freeport-McMoran, Rio Tinto, INCO, Barrick, dan Newmont.

Selain itu, memang ada sejumlah perusahaan Australia yang mempunyai investasi yang cukup berarti seperti Aberfoyle, Aurora Gold, BHP, Laverton Gold, Lone Star Exploration, Meekatharra Minerals, North Ltd, Newcrest, Normandy, dan Pelsart Resources.

sumber: