Investasi Pertambangan Skala Besar Enggan Masuk

Investasi Pertambangan Skala Besar Enggan Masuk

Suara Pembaruan,  31 Oktober 2005

JAKARTA - Investasi pertambangan di Indonesia masih cukup menarik. Namun bila peraturan perundang-undangan yang diharapkan memberikan kepastian hukum bagi investor tidak juga jelas, tidak akan ada lagi investasi skala besar yang masuk setelah sejumlah perusahaan tambang raksasa habis masa kontrak karyanya.

\'\'\'Tahun ini saja ada lima perusahaan besar yang masuk dalam tahap tutup tambang. Dengan kondisi seperti sekarang, yang tidak jelas kepastian hukumnya, perusahaan-perusahaan itu tidak akan mau berinvestasi lagi di Indonesia. Filipina yang dulu dikenal sangat anti pertambangan, kini justru lebih banyak dilirik investor. Begitu juga Laos, yang kini dianggap sangat menarik bagi investasi tambang,\'\' kata Presiden Direktur Newmont Pacific Nusantara, Noke Kiroyan saat berdialog dengan jajaran redaksi Suara Pembaruan di Jakarta, Jumat (18/10).

Dia mengungkapkan, sejak pemerintah memutuskan untuk menarik UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan, praktis tidak ada lagi aturan hukum yang menjadi pegangan bagi sektor pertambangan. Pada tahun 1998 pemerintah menjanjikan adanya undang-undang baru pengganti UU No 11 tahun 1967.

Namun, hingga kini draf UU yang dikenal dengan nama Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) itu pun tidak jelas, sudah sejauh mana proses penyelesaiannya.

\'\'Padahal menurut kami, UU No 11 tahun 1967 itu masih bisa dipakai. Hanya memang harus lebih disempurnakan. Kalau RUU Minerba, itu justru menjadi pertanyaan besar bagi kami. Terutama, karena mengubah bentuk kerja sama dari kontrak karya menjadi sekadar izin usaha pertambangan. Ini justru semakin menambah ketidakpastian payung hukum bagi bisnis pertambangan di Indonesia,\'\' katanya.

Lebih lanjut Noke menambahkan, untuk mendapatkan nilai investasi setara dengan investasi yang ditanam perusahaan-perusahaan tambang raksasa yang akan segera hengkang karena masa kontrak berakhir, setidaknya perlu waktu 10 tahun. Sebab, selain usaha pertambangan merupakan bisnis yang penuh risiko tinggi, juga investasi yang dijanjikan para investor tidak bisa serta merta dinikmati ketika uang itu masuk.

\'\'Karena perlu eksplorasi dulu, yang paling tidak memakan waktu sampai 10 tahun untuk mengetahui adanya mineral. Selama masa eksplorasi itu sangat diperlukan kepastian hukum yang menjamin investasi akan aman. Saat eksplorasi, bisa juga gagal, bisa juga berhasil menemukan mineral. Yang pasti, risikonya memang tinggi sehingga kepastian hukum menjadi satu hal terpenting yang harus diberikan pemerintah bila berharap investasi besar masuk,\'\' Noke menandaskan.

Menyusut Drastis

Potensi sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia melimpah, yang tersebar di seluruh wilayah. Namun, tahun ini misalnya, kata Noke, sumbangan sektor pertambangan terhadap GDP (Gross Domestic Product) hanya sekitar 2 persen.

Padahal, dengan potensi sumber daya mineral yang dimiliki, seharusnya angka itu bisa menjadi lebih dari 5 persen. Sedangkan sumbangan investasi pertambangan bagi pemasukan negara, juga mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2002.

\'\'Padahal Indonesia masih cukup menarik untuk investasi pertambangan. Tetapi, karena investor tidak melihat ada kepastian hukum, tentu mereka akan berpikir dan bahkan tidak ada yang mau menanamkan investasi, apalagi dalam jumlah besar. Dalam beberapa tahun ini tidak ada tambang baru, sedangkan tambang-tambang besar yang ada akan segera tutup,\'\' ujarnya.

Gairah bisnis pertambangan di Indonesia, menurut Noke, antara lain dapat diukur dari jumlah anggota Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA). Dari 200 perusahaan lebih, saat ini anggota IMA hanya tinggal 40 perusahaan tambang (di luar pertambangan batu bara). Jumlah itu diperkirakan akan menyusut drastis dalam kurun kurang dari 10 tahun.

Bahkan, menurut anggota Dewan Penasehat IMA ini, dikhawatirkan beberapa tahun ke depan di Indonesia yang kaya akan mineral tambang ini hanya akan tersisa segelintir perusahaan tambang skala besar, seperti Freeport, Newmont, dan International Nickel Indonesia (Inco).

\'\'Itu juga karena kebetulan kontrak karyanya masih lama. Kalau aturan kontrak karya, benar-benar diubah menjadi izin, menurut saya tidak akan ada perusahaan besar yang tertarik masuk ke Indonesia. Di negara lain mungkin aturan seperti itu bisa diterapkan, tapi kalau di Indonesia belum tentu, karena di negara kita ini kepastian hukumnya sangat tidak pasti,\'\' katanya.

sumber: