Investasi asing, kapan mulai bersemi?
Bisnis, 31 Maret 2004,
Pembahasan mengenai pentingnya investasi langsung seolah menjadi bahan diskusi yang tidak pernah habis dikupas, tak terkecuali dalam munas itu.
Apalagi, awal pekan ini keluar laporan pemerintah mengenai persetujuan investasi asing langsung (PMA) ke
Memang pekan lalu Boediono optimistis, investasi langsung akan bersemi mulai kuartal keempat tahun ini. Catatannya, jika pemilu lancar, dan menghasilkan pemerintahan yang mampu melahirkan kebinakan rasional di mata pelaku bisnis.
Tetapi, Kwik Kian Gie sehari kemudian buru-buru seolah meralat pernyataan koleganya di kabinet itu, seraya mengatakan investasi langsung belum akan datang. Pasalnya, iklim investasi belum membaik, dan masih menunggu seperti apa baju presiden dan para menteri baru nanti.
Sejatinya, para petinggi negeri ini memang perlu memberi ruang lebih luas bagi perbaikan iklim investasi yang diperkirakan membutuhkan sekitar Rp400 triliun agar pertumbuhan ekonomi tumbuh sekitar 5% pada 2004.
Beberapa ekonom memperkirakan tanpa investasi pun, laju perekonomian
Lantaran pemilu, pertumbuhan sektor konsumsi tahun ini diprediksikan tidak akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Lebih lagi disiram bahan bakar berupa pengeluaran ekstra pemerintah untuk memuluskan pemilu.
Namun, tetap saja tanpa investasi baru, akan mengubur harapan bagi para penganggur yang ingin lekas mendapatkan pekerjaan.
Perluasan lapangan kerja atau perbaikan fasilitas umum sulit diharapkan tanpa investasi swasta, mengingat APBN tidak akan cukup mampu membiayai pembangunan.
Bergerak malas
Masalahnya, investasi langsung baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) terus menunjukkan gerakan yang malas-malasan.
Paling tidak, data persetujuan investasi yang diusung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) -meski disebut belum mewakili perkembangan total investasi ke Indonesia-bisa memberi petunjuk pergerakan sektor itu.
Pada dua bulan pertama tahun ini, PMA hanya mencapai US$805,4 juta, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2003 yang masih US$2,404 miliar.
Kendati demikian, pada Januari-Februari 2004 itu investasi baru PMA naik 47,5% menjadi US$360 juta dan perluasan PMA naik 53% menjadi US$228 juta. Hanya saja, proyek investasi alih status merosot tajam, sekitar 89%, menjadi US$217 juta.
Gambaran itu sebenarnya menyisakan harapan adanya perbaikan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, jika klimaks Pemilu 2004 menghasilkan pemerintahan baru dengan kebijakan yang dinilai pro pasar.
Sementara persetujuan PMDN pada Januari-Februari 2004 secara total naik menjadi Rp3,07 triliun terpicu perluasan proyek menjadi Rp1,7 triliun, sedangkan persetujuan proyek baru dan alih status turun masing-masing Rp1,35 triliun dan Rp0,7 miliar.
Dari gambaran PMA dan PMDN itu tampaknya Boediono benar. Namun perkembangan tersebut agaknya belum bisa menjadi petunjuk tren penanaman modal pada tahun ini, meski cukup banyak yang pesimistis target kebutuhan investasi pada tahun ini bisa terealisasi.
Paling tidak, kecemasan semacam itu terwakili suara Kwik, yang meyakini investasi swasta bakal meleset dari target. Pasalnya, iklim investasi belum membaik, di tengah makin mengkilapnya pamor negara lain.
Pertanyaannya benarkah daya saing
Survai Jetro
Jawaban atas pertanyaan itu bukan urusan mudah. Tapi barang kali survai Japan External Trade Organization (JETRO) atas perusahaan Jepang di kawasan Asia yang diterbitkan pada Maret 2004 bisa menjadi cermin kondisi Indonesia dan sejumlah negara kompetitor di hadapan investor Negeri Matahari Terbit itu.
Menurut survai yang dilakukan pada Januari 2004 dengan jumlah responden sekitar 1.130 perusahaan itu, upah pekerja Indonesia di bidang industri secara umum-yang kerap dikeluhkan pengusaha domestik- masih kompetitif.
Dengan menggunakan upah di Yokohoma Jepang sebesar US$2.602/bulan sebagai standar (
Bahkan upah di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan upah buruh di Bangkok dan Kuala Lumpur Malaysia, Manila Filipina, serta New Delhi dan Karachi India. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, Seoul Korea Selatan, Hong Kong, Taipei, atau Okinawa dan Yokohama yang bertengger di indeks antara 19-100.
Sementara upah buruh di
Dalam catatan Jetro, pertumbuhan gaji pada 2002 di Beijing, Dalian, Shenyang, dan Chongqing Cina menunjukkan tren naik sekitar 10%, sedangkan pertumbuhan upah di Shenzhen dan Shanghai yang memiliki level cukup besar diperkirakan rendah.
Upah buruh di Jakarta yang hanya US$133/US$ menunjukkan kenaikan substansial masing-masing 49%,23,8%, dan 38,7% sejak 1999 sementara pada 2003 sekitar 6%.
Selain itu, upah di
Demikian juga dengan rasio jaminan sosial seperti pensiun, asuransi kesehatan, dan asuransi tenaga kerja dengan upah bulanan, Jakarta masih sekitar 9%, lebih rendah dibandingkan dengan Kuala Lumpur sekitar 12%, Singapura 13%, dan Vietnam sekitar 17%.
Bahkan rasio jaminan sosial dengan gaji bulanan pada kantong industri di Cina berkisar 26%-44% lebih tinggi dibandingkan dengan
Sebaliknya, dalam urusan sewa kantor,
Sementara itu, tarif sambungan internasional ke Jepang (per tiga menit), biaya di
Dalam biaya listrik untuk keperluan industri, dengan daya 2.000 kW dan penggunaan sekitar 500.000 kWh, tarif di Jakarta yang sekitar US$30.000 relatif masih kompetitif dengan negara lain, apalagi jika dibandingkan dengan Hong Kong yang lebih dari US$70.000 dan Manila sekitar US$60.000.
Soal perpajakan
Lalu bagaimana soal perpajakan yang terus menjadi perdebatan hangat? Sejauh ini,
Memang, perkembangan reformasi perpajakan ini tidak luput dari perhatian pengusaha Jepang. Indonesia yang menerapkan tarif efektif pajak penghasilan perusahaan sekitar 30%, dinilai masih lebih mahal dibandingkan Hong Kong sekitar 17%, Taipei 25%, Seoul sekitar 26%, Singapura 22%, Kuala Lumpur 28%, dan Vietnam 25%.
Namun dibandingkan Thailand, Cina, Filipina, India, dan Jepang sendiri yang menerapkan tarif pajak antara 30%-45%, tarif pajak di Indonesia masih jauh lebih murah.
Berdasarkan survai Jetro tentang biaya bisnis sejumlah negara di atas semestinya
Apalagi tren aliran investasi Negeri Matahari Terbit itu diprediksikan membaik a.l. terlihat dari jumlah perusahaan Jepang di Asean dan India yang membukukan keuntungan operasional pada tahun lalu mencapai 70,8% sedikit lebih rendah dibandingkan dengan 2002 yang sekitar 71%.
Selain itu, sekitar 51% responden memperkirakan keuntungan operasional pada tahun ini akan membaik. Sedangkan responden yang memiliki keyakinan akan memburuk hanya 16%, atau hampir separuh kaum pesimistis pada tahun sebelumnya yang masih 33,2%.
Dengan kegairahan berinvestasi yang relatif tinggi dari pengusaha Jepang di Asean-India, dan relatif masih kompetitifnya biaya bisnis di
Kabinet Gotong Royong sendiri, sering mempertontonkan pengakuan komitmennya terhadap perbaikan iklim investasi, di antaranya melalui Inpres No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerja Sama dengan IMF.
Kebijakan perbaikan iklim investasi itu di antaranya janji peningkatan kepastian hukum dan usaha melalui peninjauan daftar negatif investasi, dan RUU Penanaman Modal, penyederhanaan izin lewat pelayanan satu atap, dan penanganan masalah investasi dan ekspor melalui Timnas Peningkatan Ekspor dan Investasi.
Agenda politik dalam Pemilu 2004 yang dianggap mendorong investor wait and see sebaiknya tidak menjadi kambing hitam bagi keringnya aliran modal asing. Sebab, sejumlah negara lain di Asia juga menggelar hajatan yang sama.
Jadi tinggal menunggu kebijakan pemerintah dan kelincahan pemain bisnis di Tanah Air, apakah pencanangan Tahun Investasi 2004-2005 akan menjadi momentum kebangkitan penanaman modal ataukah akan bernasib seperti pendahulunya, Tahun Investasi 2003, yang mesti diperpanjang sampai dua tahun lagi.
Oleh Lutfi Zaenudin