Industri Cor Logam Ceper Makin Parah
Klaten, Kompas - Kondisi industri logam di Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, semakin memprihatinkan. Setelah kenaikan harga bahan baku berupa besi scrap dan kokas (batubara berkarbonasi tinggi) sejak Maret 2004, kini menghadapi persoalan baru, yakni turunnya permintaan pasar. Apabila pemerintah tidak segera bertindak melakukan penyelamatan, maka dalam waktu tiga bulan ke depan sudah tidak ada lagi industri pengecoran logam yang bisa bertahan.
"Sejak satu setengah bulan yang lalu pesanan cor logam turun drastis. Pesanan barang kepada para perajin logam di Ceper ini seakan-akan terhenti," kata Wahyu Setiawan, Manager Sinar Teknik, di Ceper, Klaten, Jumat (25/6).
Sebagai gambaran, kata Wahyu, pada awal tahun 2004, ketika industri pengecoran logam di Ceper masih berjalan normal, Sinar Teknik mampu memperoleh pesanan berbagai jenis komponen yang terbuat dari logam besi sebanyak 40 ton per bulan. Akan tetapi, volume pesanan itu berangsur-angsur terus turun sejak April 2004. Saat ini Sinar Teknik hanya mendapat pesanan sekitar 6 ton komponen setiap bulannya.
"Biasanya, setiap lima hari sekali kita pasti melakukan aktivitas pengecoran, namun saat ini hanya 3-4 minggu sekali. Bahkan, pernah sampai satu setengah bulan kita baru melakukan pengecoran," ujar Wahyu, mengabarkan betapa sepinya order para pengusaha pengecoran di Ceper saat ini.
Riyanto, Karyawan Bintang Jaya, menambahkan, pesanan berbagai jenis komponen dari logam yang diterima Bintang Jaya turun lebih dari 100 persen. Empat bulan yang lalu Bintang Jaya masih menerima pesanan sebanyak 60-80 ton per bulan. Akan tetapi, saat ini pesanan itu menjadi sekitar 20 ton per bulan.
Hasyim Munawar, pemilik Logam Karya, mengatakan, walaupun tidak sebesar Sinar Teknik dan Bintang Jaya, omzet perusahaan juga turun sekitar 40 sampai 50 persen per bulan.
Tidak ada lagi
Turunnya jumlah pesanan yang datang ke pengusaha pengecoran logam di Ceper menekan kantung ekonomi para pengusaha, yang sebagian besar merupakan pengusaha kecil atau industri rumah tangga. Wahyu memperkirakan, jika kondisi seperti itu berlangsung terus, dalam waktu tiga bulan ke depan tidak ada lagi industri pengecoran logam di Ceper yang bisa bertahan.
"Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil tindakan konkret," katanya.
Kondisi di Ceper itu semakin memprihatinkan karena jumlah pesanan yang datang ke sentra industri pengecoran itu sangat tergantung dari aktivitas produksi industri di Indonesia. Berbagai jenis industri, seperti pabrik ban, tekstil, kendaraan bermotor, sampai ke peralatan olahraga merupakan konsumen dari pengusaha pengecoran logam di Ceper.
Oleh karena itu, kata Wahyu, pihaknya hanya bisa berharap agar perindustrian Indonesia kembali membaik. Hal itu merupakan salah satu jalan keluar untuk menyelamatkan merosotnya kinerja ekonomi yang dihadapi para pelaku industri pengecoran di Ceper.
Selain itu, melalui kebijakannya, pemerintah juga harus mencari jalan keluar untuk memperbaiki harga jual kokas dan scrap pada tingkat harga yang wajar. Dengan demikian, pengusaha bisa bertahan karena harga bahan baku maupun energi terjangkau.
"Kalau harga kokas dan besi scrap turun, keuntungan kita bisa meningkat," kata Riyanto.
Jika pada awal tahun 2004 harga kokas masih Rp 2.600, sejak Maret 2004 lalu naik menjadi Rp 6.000, dan saat ini mencapai Rp 6.500 per kilogram (kg). Demikian pula dengan harga besi, naik dari Rp 1.400 per kg menjadi Rp 2.300 pada bulan Maret 2004, dan saat ini naik lagi menjadi Rp 2.600 per kg.
Padahal, pengusaha pengecoran logam di Ceper tidak pernah menaikkan harga jual produknya. Konsumen pasti akan lari jika harga jual naik.
Belum presisi
Melorotnya pesanan, kata seorang pelaku industri yang memberikan order pembuatan komponen kepada beberapa pengusaha pengecoran di Ceper, disebabkan karena banyak faktor. Selain karena kenaikan harga kokas dan scrap, juga banyak pengusaha pengecoran yang belum mampu memberikan produk yang presisi, tepat waktu, dan dalam volume yang besar.
"Hal inilah yang sering kali membuat kita kesulitan memberikan order kepada mereka. Padahal, kita butuh mereka karena pembuatan komponen, entah itu komponen untuk mesin pompa, sepeda motor, atau mesin lainnya tak mungkin ditangani industri besar. Pekerjaan itu sudah tidak efisien lagi di tangan industri besar," kata pengusaha tersebut.
Akan tetapi, kalau pekerjaan itu dialihkan kepada para pengusaha di Ceper, juga tak sepenuhnya mampu mereka ambil alih. Jadi, sebagian besar masih harus ditangani sendiri oleh industri pembeli order sehingga menjadi tidak efisien.
"Lagi pula barangnya belum banyak yang presisi. Mereka biasanya mengambil order yang setengah jadi. Artinya, hasilnya masih kasar. Saat dikirimkan ke pabrik sebelum digunakan masih harus disempurnakan. Jadi, butuh proses lagi untuk bisa menjadi komponen yang siap pakai sehingga makin menambah biaya," ujarnya.
Apabila pengusaha di Ceper mampu membuat presisi, pengiriman barangnya tepat waktu, siap pakai, dan mampu memproduksi dalam jumlah yang besar, pasti mereka akan kebanjiran order. Pelaku industri akan memilih untuk menggarap komponen yang memiliki spesifikasi tinggi saja agar proses produksi bisa diperpendek dan menekan biaya produksi.
"Trennya ke depan adalah industri seperti di Ceper ini, asalkan presisi. Oleh sebab itu, mereka harus menggandeng akademi untuk mengasistensi agar produknya layak pasar. Hasilnya produk mereka bukan hanya masuk ke pasar lokal, tetapi juga pasar global." (K04/ast)