Industri Baru Dilarang Gunakan BBM

Media Indonesia, 2 Mei 2005

YOGYAKARTA (Media): Industri-industri baru tidak boleh lagi menggunakan minyak sebagai bahan bakar. Mereka harus menggunakan energi alternatif seperti gas, batu bara, dan sebagainya.

Pelarangan tersebut akan tercantum dalam peraturan pemerintah mengenai kebijakan energi yang rencananya dikeluarkan pekan ini. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Aburizal Bakrie mengatakan itu kepada sejumlah wartawan, dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, selain pelarangan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) oleh industri, kebijakan soal energi juga akan melarang ekspor gas ke luar negeri, kecuali yang sudah terikat dalam kontrak.

Hal tersebut dilakukan guna menekan pemakaian BBM dan mengurangi subsidi. "Nanti kami minta produsen gas, kecuali yang sudah kontrak, memasok gas ke dalam negeri," kata Aburizal.

Gas tersebut akan dipakai untuk menekan pemakaian BBM untuk transportasi, industri, dan rumah tangga. Ditargetkan, pada 2025 pemakaian BBM tinggal 30%. "Pada 2025 kami mengharapkan 5% (pemakaian) energi dari (energi) yang terbarukan dan dalam jangka pendek kita kurangi sebanyak mungkin penggunaan BBM."

Namun, karena dalam jangka pendek pula energi yang terbarukan itu belum ekonomis, sumber energi Indonesia yang melimpah seperti batu bara dan gas akan dipacu pemanfaatannya di dalam negeri. Walaupun harga gas internasional lebih menarik daripada di dalam negeri, kebijakan larangan ekspor akan tetap dilakukan. Bahkan, pemerintah berencana mematok harga gas di dalam negeri.

"Kami akan bilang pada produsen, gas tidak boleh dijual lebih dari 3,25 dolar AS per mmbtu (million metric british thermal unit) karena sebenarnya dengan harga segitu saja sudah untung banyak, walaupun harga di luar US$7 per mmbtu," katanya.

Menurut dia, selama ini ada kelangkaan gas karena pemerintah belum punya kebijakan energi. Tetapi, dengan kebijakan energi yang diharapkan bisa dikeluarkan pekan depan itu, pemanfaatan gas bisa lebih maksimal di dalam negeri.

Oleh karena itu pula, lanjut dia, proyek pipanisasi gas akan digalakkan untuk memasok gas dari Sumatra ke Jawa, ataupun dari Kalimantan Timur (Kaltim) ke Semarang. Pipanisasi gas tersebut tidak mahal jika dibandingkan dengan upaya menyubsidi harga BBM yang setiap tahun mencapai Rp90 triliun.

Untuk pipanisasi gas, katanya, dari Kaltim ke Semarang hanya sekitar US$2,5 miliar atau sekitar Rp25 triliun. Karena itu pula, pemerintah berencana melakukan tender pipanisasi gas dalam bentuk paket untuk mengatasi pipanisasi di jalur yang tidak menguntungkan dan kurang diminati investor.

Subsidi Pertamina

Dalam kesempatan itu, Aburizal juga memaparkan soal subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah, kata dia, tidak akan memberikan subsidi BBM kepada Pertamina dalam bentuk rupiah, melainkan langsung dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS).

Subsidi juga diharapkan dapat diberikan secara fleksibel, berdasarkan harga minyak dunia, untuk menghindari adanya gejolak yang dapat mengejutkan pasar. Menurutnya, pemerintah telah menyusun sejumlah langkah untuk menghindari terulangnya aksi beli dolar dalam jumlah besar oleh Pertamina yang berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah.

"Pertamina beli dolar AS karena dia tidak punya dolar. Karenanya, kalau dia (Pertamina) dikasih rupiah, dia akan beli dolar di pasar sehingga suplai rupiah bertambah, yang menyebabkan (nilai tukar) dolar naik."

Sekarang, kata Aburizal, pemerintah memutuskan memberikan hak Pertamina dalam bentuk dolar AS sehingga BUMN minyak tersebut tidak perlu membeli sendiri kebutuhan dolar di pasar.

Dolar untuk Pertamina itu, menurut Aburizal, berasal dari pendapatan minyak dan gas (migas) yang positif. "Dari situ kita berikan dolarnya. Trading account migas kan dolarnya positif, sedangkan minyak negatif sehingga dana bisa diambil dari sana."

Selain itu, sambung Aburizal, pemerintah juga telah mengeluarkan imbauan agar BUMN yang kebanyakan dolar AS untuk memberikan dolarnya kepada BUMN yang tidak mempunyai dolar AS.

Mengenai subsidi BBM, Aburizal mengatakan pemerintah mengusulkan agar subsidi sifatnya tidak fix (tetap), sehingga pemerintah tidak perlu lagi ke DPR setiap kali terjadi gejolak harga minyak dunia.

"Dalam APBN 2005 subsidi BBM cuma Rp19 triliun, sedangkan dengan asumsi harga minyak dunia yang sebesar US$50 per barel, total subsidi sampai akhir tahun adalah Rp90,8 triliun," katanya.

Dengan subsidi yang boleh diberikan hanya Rp19 triliun, maka yang diberikan pemerintah kepada Pertamina adalah sebagai uang muka. Dan karena hanya Rp19 triliun, pada Maret atau April sudah habis. Dengan konsep subsidi secara fleksibel, hal itu dapat diantisipasi.

sumber: