Industri Baja Nasional "Meradang"
Kompas, 9 Maret 2004 - EMPAT perusahaan peleburan baja China telah melakukan kontrak dengan pemasok biji besi (iron ore) dari Australia senilai sembilan miliar dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun. Itu berarti China akan mengimpor dari satu pemasok biji besi Australia sebanyak 12 juta metrik ton per tahun. Kontrak itu dilaporkan sebagai kontrak terbesar yang dilakukan pemasok biji besi dari Australia, dan itu merupakan bagian dari industri baja China untuk mendapatkan bahan baku baja untuk produksinya yang diperkirakan mencapai 210 juta ton pada tahun 2003 dan 310 juta ton pada tahun 2010.
SEBERAPA besar konsumsi baja China tidak ada angka pasti. Yang jelas, permintaan China atas bahan baku baja, dari biji besi, baja lembaran (slab), besi bekas maupun besi tua (scrab), baja lembaran canai panas (hot rolled coil/HRC), dan baja lembaran canai dingin (cold rolled coil/CRC) meningkat. China kini ibarat "raksasa yang lapar besi" sehingga memicu harga bahan baku baja terus bergerak naik.
Kondisi itu juga sangat mempengaruhi industri baja nasional dari hulu sampai hilir. Produsen bahan baku baja atau industri hulu, seperti PT Krakatau Steel (PT KS), harus menanggung harga bahan baku yang tinggi untuk membuat produk bahan baku baja HRC dan CRC. Industri hilir, seperti pabrik pipa dan pabrik seng, terkena dampaknya. Bahkan, industri otomotif, industri properti, dan pembangunan infrastruktur tak lagi bisa menghindar dari "hantaman" kenaikan harga baja. Semua sektor kini panik dan meradang menghadapi lonjakan harga baja.
PASAR baja memang lagi hot semua negara produsen baja dunia seolah tak mau melepaskan secara bebas produknya ke pasar, meski permintaan China terhadap baja besar sekali. Melonjaknya permintaan China tersebut karena negara itu tengah giat membangun jaringan infrastruktur yang luar biasa dengan pertumbuhan ekonomi mencapai di atas sembilan persen. Sebut saja, pembangunan rel kereta api, rencana pembangunan stadion olimpiade, pembangunan industri baja China untuk mendukung sektor industri otomotif dan industri pengguna bahan baku baja lainnya, dan untuk pembangunan infrastruktur jalan tol.
Di tengah rebutan produk itu, Rusia yang juga merupakan salah satu produsen terbesar baja tidak membuka keran ekspornya. Produk itu mereka fokuskan untuk kebutuhan industrinya sendiri. Akibatnya pasokan bahan baku baja langka dan harga terus naik.
Menurut Direktur Pemasaran PT KS Kemal Masduki harga HRC dan CRC yang merupakan barometer harga produk baja terus naik drastis, setidaknya sejak pertengahan 2003. Harga HRC yang pada Juli 2003 harganya 295 dollar AS per metrik ton (MT) melonjak menjadi 570-580 dollar AS per MT yang ditransaksikan Februari untuk penyerahan April 2004. Kenaikan harga itu juga terjadi pada bahan baku baja CRC. Harga CRC pada Oktober 2003 baru mencapai 540 dollar AS per MT. Namun, sekarang sudah menjadi 600 dollar AS per MT.
"Kenaikan harga terjadi di seluruh bahan baku baja, dari biji besi, slab, scrab, HRC, dan CRC," katanya.
Kelangkaan dan kenaikan bahan baku baja dunia tidak hanya mempengaruhi industri hulu baja. Industri hilir, seperti pabrik pipa dan pabrik seng, pun mengalami pukulan yang sangat berat. Industri hilir semakin sulit mendapatkan bahan baku baja. Jika mendapatkan bahan baku baja seperti CRC, industri hilir seperti pabrik seng harus membayar dengan harga yang tinggi. Belum lagi, keterlambatan pengiriman yang dapat mempengaruhi kinerja industri seng.
Berangkat dari kondisi itu, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi dan Menteri Keuangan Boediono sepakat untuk menurunkan tarif BM bahan baku baja, seperti HRC dan CRC, dari 20 persen sampai 25 persen menjadi nol persen. Menurut dia, jika tarif BM bahan baku baja diturunkan menjadi nol persen, industri hilir atau industri pengguna bahan baku baja semakin mudah mencari alternatif pasokan di pasar dunia. Penetapan tarif BM nol persen itu dirasakan perlu mengingat harmonisasi tarif baja belum selesai digarap.
Rencana penetapan tarif BM itu mengundang kontroversi. Kalangan produsen bahan baku baja atau industri hulu menilai, kebijakan itu akan semakin memukul industri hulu. Mengapa? Karena bahan baku baja, khususnya dengan kualitas rendah (second grade) akan mudah masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah.
Sebagai gambaran, menurut Kemal, harga HRC dengan kualitas rendah bisa mencapai 550 dollar AS sampai 560 dollar AS per MT. Itu berarti produk HRC dari produsen lokal akan terpukul dengan produk HRC impor dengan kualitas rendah.
Kekhawatiran itu pun ditepis Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka (Ilmea) Subagyo. Menurut Subagyo, dengan harga bahan baku baja, seperti slab sebesar 500 dollar AS per MT, harga produksi HRC dan CRC di negara mana pun relatif akan sama. Itu berarti, harga HRC dan CRC impor menjadi mahal karena harus dikenakan biaya pelayaran. Harga HRC dan CRC produk lokal dari industri hulu, seperti PT KS, seharusnya dapat lebih murah dari produk impor karena tidak terkena biaya pelayaran.
Kontroversi terhadap rencana penetapan tarif BM itu tidak hanya berasal dari kalangan industri hulu. Kalangan industri hilir yang selama ini memasok produk baja secara ilegal pun kini kebakaran jenggot. Dalam arti, harga produk baja ilegal makin tidak kompetitif jika pemerintah menetapkan tarif BM bahan baku baja nol persen.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pabrik Seng Indonesia Dedin Zaenuddin mengatakan, kalangan industri baja hilir untuk saat ini mendukung kebijakan pemerintah menetapkan tarif BM bahan baku baja sebesar nol persen. "Dengan tarif BM bahan baku baja nol persen, industri hilir dapat mencari alternatif pasokan bahan baku baja, seperti CRC, di pasar internasional," kata Dedin. Selain itu, kebijakan itu untuk sementara dapat mengurangi impor ilegal produk baja selama ini dengan memanipulasi tarif BM.
Menurut Dedin, kalangan industri baja hilir untuk saat ini memang membutuhkan berbagai alternatif untuk mencari CRC sebagai bahan baku industri seng. Produsen bahan baku lokal selama ini cenderung lambat dan terbatas dalam memasok bahan baku CRC kepada kalangan industri seng, termasuk industri pipa.
KEBIJAKAN apa pun yang dilakukan pemerintah, termasuk rencana penetapan tarif BM bahan baku baja, merupakan salah satu upaya untuk meringankan industri baja nasional. Kebijakan itu diperlukan agar industri baja nasional semakin mudah mendapatkan alternatif bahan baku baja di pasar internasional. Namun, esensi persoalan tidak terletak pada soal memainkan BM tersebut dalam upaya mengamankan industri baja nasional, tetapi terletak pada tingkat efisiensi industri baja hulu dan hilirnya.
Industri baja hulu sebaiknya tidak lagi berlindung di balik proteksi tarif BM yang tinggi. Namun, harus mengupayakan bagaimana sektor hulu mampu berproduksi secara efisien untuk memasok bahan baku baja di dalam negeri, khususnya kepada industri hilir. Industri hilir juga harus efisien.
Oleh karena itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rachmat Gobel mengungkapkan, semua pihak hendaknya tidak melakukan reaksi yang berlebihan dalam menyikapi rencana penetapan tarif BM bahan baku baja. Pihak Kadin Indonesia akan melakukan dialog secara mendalam dengan industri baja hulu dan hilir untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.
"Berapa kerugian yang akan dialami oleh sektor hulu akibat rencana pembebasan tarif itu? Apakah kebijakan itu akan memukul industri hulu? Seberapa besar? Selain itu, apakah kebijakan itu membawa dampak negatif bagi industri hilir? Kalau ya seberapa besar? Dan sejauh mana dampak positif bagi industri hilir baja?" kata Rachmat dengan nada bertanya.
Akan tetapi, terlepas dari sikap pro dan kontra, prinsip utama yang dipegang Kadin Indonesia adalah mengupayakan semaksimal mungkin bahwa kebijakan itu tidak merugikan sektor hulu maupun hilir.
Kalangan industri baja hulu dan hilir menilai kebijakan yang cukup fair dan adil dalam masalah tarif BM baja adalah harmonisasi tarif. Namun, sayang kebijakan harmonisasi tarif produk baja dari industri hulu sampai hilir ini belum terealisasikan sampai sekarang.
Menurut Rachmat, kondisi baja dunia dengan permintaan yang tinggi dari China tidak boleh dilihat sesaat. Kondisi itu harus dilihat dalam konteks industri baja yang lebih luas dalam beberapa tahun mendatang. Artinya, industri baja nasional harus mengantisipasi dampak dari pengembangan industri baja di China. Besarnya negeri ini menyerap bahan baku baja untuk keperluan industri bajanya, maka diperkirakan industri baja, manufaktur, plus industri ikutannya akan berkembang pesat.
"Sekarang China menyerap banyak bahan baku baja untuk pengembangan industri. Setelah industri baja berkembang, produk dilempar ke pasar dunia dengan harga murah. Hal itu semakin memukul industri baja nasional," kata Rachmat
Oleh karena itu, menurut Rachmat, industri baja nasional perlu berbenah diri. Produsen baja nasional jangan lagi tergantung dan terus berlindung di balik proteksi pemerintah. Selain itu, industri hilir pun perlu membuat kinerja industri semakin efisien dan terintegrasi dengan industri hulu.
Dirjen Ilmea Subagyo mengungkapkan, pihaknya memang sedang menyusun strategi industri baja untuk masa-masa mendatang. Keterkaitan industri hulu dan hilir memang harus ada dan terintegrasi. Dengan demikian, industri semakin efisien. Salah satu upaya membuat industri baja terintegrasi dilakukan dengan membuat harmonisasi tarif BM produk baja.
INDUSTRI properti, otomotif, proyek infrastruktur, sekarang ini terkena dampak dari kondisi kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku baja. Dampaknya, biaya bahan baku dan produksi akan naik. Misalnya, pelaku usaha properti memperkirakan kenaikan biaya proyek bisa mencapai 15 persen dari total biaya.
Untuk itu, industri nasional bersama pemerintah memang perlu mengambil momentum kondisi baja dunia ini sebagai langkah mengantisipasi strategi industri ke depan.
Bagaimanapun, industri baja nasional memainkan peran yang strategis dalam ekonomi suatu negara. Industri baja sebenarnya merupakan indikator pertumbuhan ekonomi negara. Kalau industri baja dari hulu dan hilir berkembang dengan baik, itu dapat menjadi indikator bahwa ekonomi suatu negara telah berkembang, seperti China sekarang ini. (Ferry santoso/banu astono)
sumber: