Indonesia sudah menjadi Net Oil Importer
Bila pada saat ini masih ada perdebatan sudah atau belum kah Indonesia menjadi net importer minyak bumi, maka kita tidak bisa mengelak bahwa secara total (minyak bumi dan BBM) Indonesia sudah menjadi net importer BBM sejak beberapa tahun terakhir. Kapasitas kilang minyak Indonesia tidak bertambah sejak tahun 1997, sedangkan pemakaian BBM terus meningkat. Pemakaian BBM pada tahun 2003 mencapai 60 juta KL (kilo liter) atau setara dengan 1 juta bph. Padahal, dari kapasitas kilang Indonesia sebesar 1 juta bph, BBM yang dapat diproduksikan hanya sekitar 0,8 juta bph dan sisanya merupakan produk non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia, dan sebagainya). Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal dari impor.
Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung, Indonesia defisit 12 juta KL (20% kali 60 juta KL). Untuk menutup defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi Indonesia harus ditingkatkan menjadi 1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan BBM akan masih terus tumbuh. Apalagi jika harga BBM tetap relatif lebih murah dari energi alternatifnya, sehingga penggunaan BBM secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.
Di sini lah letak masalahnya. Di saat harga minyak bumi dunia mencapai 50 dolar per barel, harga minyak tanah di dalam negeri adalah Rp 1.000 per liter (harga di titik penjualan Pertamina adalah Rp 700 per liter) dan harga minyak solar Rp 1.650 per liter. Padahal dengan kurs Rp 9.000/dolar, harga minyak mentahnya saja sudah Rp 2.850 per liter. Belum lagi ditambah biaya pengolahannya di kilang dan biaya transportasinya ke konsumen. Harga BBM sesungguhnya (tanpa subsidi) di konsumen rata-rata bisa mencapai Rp 3.000 per liter (biaya produksi untuk semua jenis BBM relatif sama).
Pada masa lalu, kenaikan harga minyak bumi dunia merupakan berkah bagi APBN, yang biasa disebut sebagai windfall profit. Tetapi pada saat ini, di mana selisih antara ekspor-impor minyak bumi semakin tipis dan di sisi lain subsidi harga BBM semakin besar, kenaikan harga minyak dunia justru akan berakibat menambah defisit APBN. Ini terlihat dari peningkatan defisit APBN 2004 sebesar Rp. 1,9 trilyun (dari sisi pengeluaran APBN: kenaikan subsidi BBM dari Rp 14,5 trilyun menjadi Rp 63 trilyun; dari sisi pendapatan APBN terdapat kenaikan pendapatan yang antara lain disebabkan kenaikan harga minyak dunia).
Dilihat dari pengertian istilah subsidi BBM, selama ini istilah tersebut diartikan sebagai selisih antara biaya produksi BBM oleh Pertamina dengan harga jual yang ditetapkan pemerintah. Di mana harga BBM ditetapkan mengikuti harga internasionalnya dengan diberikan batas atas dan batas bawah harga. Kecuali minyak tanah untuk rumah tangga yang ditetapkan sebesar Rp. 700/liter di titik pasok Pertamina. Batas atas harga minyak yang menurut APBN adalah $ 24/barel, dan pada saat ini harga rata-rata minyak bumi dunia sebesar $ 35/barel.
Menurut UU Migas 2004, tugas Pertamina (yang saat ini telah menjadi PT. Pertamina) sebagai pemasok BBM satu-satunya di Indonesia mulai tahun 2005 akan berakhir. Sehingga setelah tahun 2005, akan banyak pelaku usaha selain Pertamina di sisi hilir migas, khususnya dalam usaha pengolahan, pengangkutan, penimbunan, dan penjualan BBM. Dengan demikian asumsi (seperti disampaikan Bapak Kwik Kian Gie) bahwa minyak bumi
Di sisi hulu migas, pangsa Pertamina dalam memproduksi minyak bumi hanya sekitar 5% dari total produksi minyak bumi
Seperti telah disebutkan di atas,
Catatan: Di ambil dari artikel Oetomo Tri Winarno, Pengamat Energi
sumber: