Indonesia sebagai Eksportir atau Importir BBM?

Dilema UU No.22 Tahun 2001 Tentang Migas
Indonesia sebagai Eksportir atau Importir BBM?

Sinar Harapan, 16 Agustus 2005



JAKARTA - Ketika harga minyak dunia merangkak naik dari US$ 36 per barel di awal tahun 2005, total produksi minyak Indonesia tinggal 985 juta barel/hari.
Di tahun 1987, total produksi pernah mencapai 1,87 juta barel/hari.
Tragis memang. Pertamina yang tadinya dipuja-puja kini hampir semua media ramai mengutip berbagai pendapat para ahli yang ujung-ujungnya Pertamina dijadikan “kambing hitam�. Seolah-olah semua persoalan minyak akibat salah urus para Direksi dan pengelola BUMN yang tidak profesional.
Dan ketika APBN Perubahan 2005 disesuaikan dengan asumsi harga minyak baru US$ 48/barel, ternyata sejak akhir Juni 2005, harga minyak dunia menembus US$ 60/ per barel.
Situasi ini berdampak pada terjadinya kelangkaan suplai BBM di berbagai daerah, dan ujung-ujungnya Pertamina kembali kena sorotan tajam masyarakat, yang seolah mengamini pendapat para pakar tentang kinerja “buruk� yang sering dituding sebagai pangkal tolak krisis BBM.
Sejak diberlakukannya UU No.22 tahun 2001 yang memisahkan antara urusan Eksplorasi (Hulu) dan Distribusi (Hilir), Pertamina padahal tidak lagi merupakan satu-satunya BUMN yang mengatur soal bahan bakar minyak. Pertamina (Hilir) hanya mengatur tentang pengadaan dan distribusi. Situasi ini membuat Pertamina, dalam hal pengadaan BBM, sangat bergantung pada kelancaran arus kas dari subsidi BBM yang diterima dari Departemen Keuangan.
Urusan eksplorasi, serta berbagai bentuk kerja sama untuk meningkatkan kapasitas produksi, telah menjadi urusan BP Migas (Hulu). Perubahan ini membuat Pertamina tidak cukup dana untuk pengadaan stok BBM.
Penerimaan dari hasil eksplorasi minyak menjadi urusan Pemerintah dalam hal ini BP Migas, yang dulunya ditangani oleh salah seorang Direktur Hulu. Situasi itulah yang membuat terjadi antrian BBM di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Macan Asia
Masih segar dalam ingatan kita, ketika di tahun 1994 saat produksi minyak rata-rata mencapai 1,612 barel per hari, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu mencapai 7,5 persen. Angka ini membuat Indonesia disebut sebagai “Macan Asia� yang siap menerkam pertumbuhan ekonomi regional. Namun, sejak krisis ekonomi di awal tahun 1998, produksi minyak nasional turun drastis hingga mencapai angka terendah 1 juta barel per hari, atau 365 juta barel di tahun 2004.
Keadaan ini membuat Indonesia, sejak tahun 2004, seharusnya telah berubah menjadi net oil importer atau negara pengimpor minyak, tidak lagi sebagai pengekspor minyak. Pasalnya, jumlah ekspor minyak mentah tinggal 234 juta barel senilai US$ 8.45 miliar. Sementara itu, impor minyak mentah dan BBM telah mencapai 278 juta barel senilai US$ 10.81 milyar, sehingga terdapat defisit sebesar US$ 2.36 miliar.
Situasi ini tentunya membuat “jurang� semakin jauh antara produksi dan konsumsi dalam negeri, dimana produksi minyak mentah (crude oil) dalam negeri sebesar 1.08 juta barel/ hari atau 395,7 juta barel di tahun 2004, yang bila diproses menjadi bahan bakar dengan asumsi efisiensi produk 70 persen dan setiap 1 barel crude oil menghasilkan sekitar 0.7 barel BBM, maka konsumsi BBM dalam negeri yang bertumbuh sekitar 6-7 persen per tahun menjadi sangat jauh melampaui pertumbuhan ekonomi, yang hanya berada di sekitar 4 persen.

Peran BP Migas
Ramses Hutapea, pengamat energi, dan mantan pejabat di lingkungan Pertamina, sangat menyayangkan keadaan ini. Menurutnya, situasi ini tidak akan berkepanjangan bila Pertamina ditunjuk oleh BP Migas sebagai agen satu-satunya yang menjual bagian Pemerintah dari KPS.
Dengan demikian, Pertamina mendapatkan marjin, dan dalam kondisi tertentu, Pertamina masih memiliki ruang gerak untuk tetap berusaha memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Selama ini, BP Migas menunjuk pihak lain untuk menjual bagian Pemerintah dari KPS.
Dan Pertamina hanya diperbolehkan memproses 20 persen yang dihasilkan sendiri. Dan 80 persen produksi yang dihasilkan perusahaan KPS seperti Caltex, Total, ConocoPhillips, Unocal. Untuk bagian Pemerintah dari 80 persen ini, BP Migas menunjuk pihak lain yang menjualnya, tidak Pertamina.
Berulangkali, dalam berbagai seminar, Ramses mengemukakan bahwa krisis ini bukan karena kesulitan dalam Pertamina, tapi pembentukan UU No.22 Tahun 2001 lah yang memasungi Pertamina, sehingga tidak lagi memiliki ruang gerak untuk keluar dari keadaan yang terjadi sekarang ini.

sumber: