Indonesia, "Net Oil Importer"!
Kurtubi
Kompas, 26 Mei 2004, KONDISI industri perminyakan nasional saat ini sungguh memprihatinkan. Betapa tidak, pada saat harga minyak dunia sangat tinggi, yakni sekitar 37 dollar AS per barrel untuk jenis minyak keranjang Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC basket) atau sekitar 41 dollar AS per barrel untuk jenis minyak West Texas Intermediate (WTI), justru produksi minyak mentah Indonesia berada di titik nadir, yakni di bawah 1,0 juta barrel per hari.
SUATU tingkat produksi yang terendah dalam sejarah industri perminyakan Indonesia sejak 1970, di mana saat itu produksi minyak mentah mencapai 1,2 juta barrel per hari (bph). Indonesia kehilangan peluang memperoleh rezeki nomplok dari minyak (oil bonanza) seperti pernah dialami tahun 1974, 1979, dan 1990.
Produksi minyak mentah pada triwulan I/2004 (di luar kondensat) kini tercatat hanya sekitar 0,98 juta bph atau hanya sekitar 360 juta barrel dalam satu tahun. Padahal, pada 1999 produksi minyak masih tercatat sekitar 1,4 juta bph.
Hal ini berarti turun sekitar 30 persen hanya dalam waktu empat tahun. Ini merupakan salah satu kejadian luar biasa dalam sejarah industri perminyakan dunia! Karena nyaris tidak ada negara yang mengalami penurunan produksi sedrastis itu dalam waktu begitu singkat. Padahal, selama sekitar 25 tahun (1974-1999) produksi minyak Indonesia berhasil dipertahankan pada kisaran 1,4 juta bph hingga 1,6 juta bph atau sekitar 500 juta hingga 580 juta barrel per tahun.
Keadaan ini telah menimbulkan pertanyaan berbagai pihak, apa gerangan yang terjadi dengan industri minyak di Indonesia? Apakah betul melulu karena faktor alamiah semata yang telah menyebabkan produksi terus turun tanpa mampu direm? Ataukah ada sebab-sebab lain di luar itu?
Mengapa investasi di sektor ini belum juga pulih, padahal harga minyak dunia sudah mulai membaik sejak tahun 2000 (setelah sebelumnya harga anjlok hingga hanya sekitar 12 dollar AS per barrel pada tahun 1998 sebagai akibat konferensi OPEC di Jakarta yang menaikkan kuota pada saat permintaan turun karena merebaknya krisis moneter).
Harian The Asian Wall Street Journal (18/5), misalnya, memaparkan fakta mengenai status Indonesia yang sudah menjadi negara pengimpor minyak neto (net oil importer). Pasalnya, sejak Maret 2004 jumlah minyak yang diimpor untuk keperluan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri (sekitar 484.000 bph) sudah melampaui jumlah minyak yang bisa diekspor (sekitar 448.000 bph).
Karena produksi minyak mentah dalam negeri yang terus menurun, jumlah minyak yang diimpor pada bulan April 2004 terus meningkat menjadi 503.000 bph, sementara jumlah yang diekspor terus menurun menjadi hanya 413.000 bph. Bahkan, kini dipertanyakan apakah Indonesia masih layak (eligible) menjadi anggota OPEC. Sementara dari sisi permintaan BBM dalam negeri, jumlahnya terus meningkat akibat adanya pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk, dan juga karena harga jual BBM yang relatif murah.
Dampak ikutannya adalah apabila harga jual BBM tidak dinaikkan, maka jumlah subsidi BBM yang akan membengkak dua kali lipat lebih, jauh melampaui jumlah yang dianggarkan APBN 2004. Sebenarnya proses penurunan produksi minyak secara alamiah terjadi di semua lapangan minyak di dunia karena berkurangnya tekanan yang ada di reservoir minyak di perut Bumi sebagai akibat proses produksi.
Bahkan, kini lapangan minyak Ghawar yang merupakan lapangan terbesar di Arab Saudi dan juga beberapa lapangan minyak tua di Rusia dan Laut Utara juga sedang mengalami proses penurunan produksi. Namun, mereka berhasil memperlambat proses penurunan, bahkan berhasil meningkatkan produksi secara total.
Kesinambungan dan tingkat produksi minyak suatu negara secara keseluruhan, di samping dipengaruhi kemampuan berproduksi lapangan lama (recovery factor), juga dipengaruhi produksi lapangan baru yang tentunya dipengaruhi ada tidaknya cadangan baru yang ditemukan. Cadangan minyak di perut Bumi baru bisa ditemukan kalau ada eksplorasi.
Aturan hukum dan manajemen sumber daya migas suatu negara selalu diarahkan untuk meningkatkan (atau sejauh mungkin mempertahankan) tingkat produksi dari lapangan yang sudah ada dengan menerapkan berbagai macam teknologi produksi yang tersedia sambil terus mengupayakan pencarian cadangan baru melalui kegiatan eksplorasi.
Kegiatan eksplorasi bisa dilakukan oleh perusahaan lama yang sudah berproduksi di blok atau wilayah lama maupun oleh perusahaan atau investor baru di blok atau wilayah baru.
Namun, kalau aturan hukum dan manajemen sumber daya migas tidak tepat, tidak konsisten, dan tidak kondusif bagi berlangsungnya kegiatan usaha eksplorasi yang risikonya sangat tinggi, maka alih-alih produksi bisa ditingkatkan, mempertahankannya pada tingkat tertentu pun menjadi sulit.
Akibatnya, tingkat produksi akan terus melorot dan menurun dan menurun terus setiap tahun. Soalnya, tanpa investasi, kemampuan lapangan untuk memproduksikan minyak akan terus menurun karena faktor usia lapangan di mana jumlah cadangan yang bisa diproduksikan akan terus berkurang.
Demikian juga, tanpa investasi, mustahil ditemukan cadangan baru untuk mengganti cadangan lama yang sudah diproduksikan karena tidak adanya kegiatan eksplorasi. Di sinilah letak titik krusial yang terjadi pada industri perminyakan Indonesia. Perubahan aturan hukum di bidang migas ternyata telah memberikan dampak negatif bagi investor, baik dalam rangka meningkatkan produksi maupun mencari cadangan baru.
Dampak perubahan aturan
Sejak pemerintah mencanangkan liberalisasi industri migas dengan mengubah aturan hukum secara radikal, yakni dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Migas ke DPR yang sekaligus mencabut UU Nomor 44 Tahun 1960 mengenai Pertambangan Migas dan UU No 8/1971 mengenai Pertamina, iklim investasi migas serta-merta berubah menjadi tidak kondusif dan tidak menentu.
Alasannya wajar-wajar saja, karena investor lebih memilih menunggu adanya kepastian aturan hukum. Para investor lebih bersikap wait and see sambil menunggu RUU Migas disahkan DPR. Ternyata, meskipun DPR sudah mengesahkan RUU Migas menjadi UU Migas No 22/2001 pada November 2001, investor belum juga datang seperti yang diharapkan.
Kali ini alasannya adalah aturan implementasi UU Migas yang berupa peraturan pemerintah (PP) di sektor hulu belum juga keluar, sementara PP mengenai Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dan perubahan status Pertamina menjadi PT (Persero) sudah keluar.
Padahal, PP hulu sangat diperlukan untuk menjadi aturan hukum yang lebih detail mengenai bagaimana usaha eksplorasi dan eksploitasi (produksi) diatur sehingga investor dapat berusaha dengan lebih pasti. Berhubung PP hulu belum ada, maka adalah wajar juga kalau investor migas yang sangat diharapkan masih lebih bersikap wait and see. Namun sebenarnya, lebih dari hanya sekadar keterlambatan PP Hulu, ternyata substansi atau materi dari UU Migas ini cenderung dijauhi oleh investor hulu.
Pasalnya, dengan UU Migas beban investor dalam rangka mencari cadangan baru (kegiatan eksplorasi) yang mengandung risiko tinggi justru menjadi lebih terbebani dengan adanya Pasal 31 yang mewajibkan investor untuk membayar berbagai pajak dan pungutan selama periode eksplorasi.
Padahal, selama ini (sebelum UU Migas) lebih dari 30 tahun pajak atau pungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak impor atas alat-alat atau benda modal untuk keperluan eksplorasi, retribusi daerah, dan sebagainya tidak pernah ada. Nanti kalau mereka sudah berproduksi, barulah dipungut berbagai macam pajak atau pungutan. Karena selama periode eksplorasi, investor belum tentu menemukan cadangan migas.
Lagi pula status investor hulu merupakan "kontraktor" belaka. Menurut konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), pemilik sumber daya migas yang ada di perut Bumi adalah negara sehingga kalau investor berhasil menemukan cadangan minyak di perut Bumi, minyak tersebut 100 persen tetap milik negara, bukan milik investor.
Sebagian dari minyak ini baru menjadi milik investor manakala cadangan tersebut sudah diproduksi dan sampai di pelabuhan ekspor, maka tidaklah tepat untuk membebani rupa-rupa pajak di atas pundak investor yang berusaha mencari cadangan baru (eksplorasi) untuk menambah aset atau kekayaan milik negara.
Praktik seperti ini sudah sangat umum terjadi di industri minyak dunia karena dilakukan hampir semua negara produsen migas, termasuk Malaysia yang pernah belajar dari Indonesia di tahun 1970-an dan Rusia yang juga mengadopsi model Kontrak Production Sharing (KPS/kontrak bagi hasil) Indonesia pasca-Uni Soviet bubar.
Meskipun departemen teknis (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) sudah meminta Departemen Keuangan untuk membebaskan investor migas dari berbagai pajak atau pungutan semasa periode eksplorasi, hingga kini tetap saja Depkeu belum setuju karena nyaris tidak mungkin mengharap Depkeu melanggar Pasal 31 UU Migas .
Selain itu, dengan UU Migas proses investasi migas menjadi lebih birokratis dan berbelit-belit, dari sebelumnya yang hanya satu atap, kini harus melewati paling tidak tiga atap. Investor yang berniat melakukan usaha di sektor hulu terlebih dulu harus berhubungan dengan Direktorat Jenderal Migas untuk mengikuti tender blok yang ditawarkan.
Kalau sudah memenangkan tender, mereka harus berhubungan dengan instansi lain bernama BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dan mengajukan rencana anggaran, serta dengan Bea dan Cukai untuk pengurusan alat-alat atau benda modal yang diperlukan untuk eksplorasi. Walhasil, "liberalisasi" industri migas di Indonesia lewat UU Migas bukannya menyederhanakan prosedur guna menambah minat investor, tetapi justru cenderung menambah mata rantai yang menyebabkan investor akan makin menjauh.
Penurunan produksi minyak saat ini juga merupakan buah dari sistem baru yang dikembangkan UU Migas di mana pengembangan sebuah lapangan minyak untuk segera dapat berproduksi kini mengalami banyak penundaan karena proses birokratis yang sangat lamban di BP Migas.
Mestinya saat ini produksi minyak dari wilayah Kalimantan Timur, misalnya, sudah bisa ditingkatkan kalau saja proses birokratis di BP Migas bisa lebih dipercepat.
BP Migas sebagai lembaga baru cenderung dikembangkan menjadi mata rantai birokratis yang tidak efisien. Hal ini tergambar misalnya dari lambannya persetujuan AFE (authority for expenditure) seperti yang dikeluhkan banyak perusahaan minyak, anggaran yang membengkak, dan jumlah karyawan yang meningkat sekitar empat kali lipat bila dibanding dengan sewaktu menjadi sebuah direktorat di bawah Pertamina selama lebih dari 30 tahun, padahal pekerjaannya sama.
Dengan demikian, jika Indonesia tak hendak berlama-lama dalam status sebagai net oil importing country (negara pengimpor neto minyak), sekaligus mendorong sumbangan yang lebih besar dari sektor migas bagi penciptaan lapangan kerja, maka harus segera diupayakan untuk meningkatkan produksi dan cadangan minyak.
Ini bisa dilakukan lewat penyederhanaan sistem, menghapus aturan birokratis yang mempersulit investor, mempercepat pengembangan lapangan minyak baru termasuk lapangan Cepu dengan segera mengambil keputusan tegas apakah lapangan tersebut pada 2010 dikembalikan utuh ke Pertamina atau dikerjasamakan dengan Exxon. Mengingat harga minyak dunia yang tinggi, keputusan pengembangan lapangan Cepu harus segera diambil.
Sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang sedang mengkaji ulang UU Migas karena dinilai bertentangan dengan konstitusi, ke depan pemerintahan baru harus segera menyempurnakan manajemen pengelolaan dan aturan hukum migas yang konsisten dan berpihak kepada masyarakat (people friendly) menuju industri migas yang lebih efisien, aturan hukum yang tidak ditakuti investor (investor friendly) karena penciptaan sistem yang birokratis dan pembebanan pajak yang tidak tepat.
Kurtubi Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), dan Pengajar Program Pascasarjana FEUI