HUBUNGAN PERUSAHAAN DENGAN LINGKUNGAN SOSIAL DI SEKITAR LOKASI TAMBANG*)

 

  

Kegiatan pertambangan umumnya berlokasi di daerah yang terpencil dan berhimpitan dengan kegiatan masyarakat sehari-hari. Masalah muncul ketika masyarakat menganggap bahwa perusahaan telah merebut lahannya dan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang negatif. Keadaan ini seringkali menimbulkan konflik baik dengan masyarakat yang sebelumnya telah tinggal di lokasi tersebut maupun dengan para Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada umumnya isu yang diangkat berkaitan dengan masalah lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Hal ini perlu diantisipasi dengan baik, mengingat Pemerintah Indonesia telah turut aktif dalam meratifikasi dan menandatangani berbagai kesepakatan internasional yang berkaitan dengan masalah HAM tersebut.

 

Permasalahan di lingkungan sekitar lokasi pertambangan umumnya berkaitan dengan tanah ulayat. Masalah ini sulit diselesaikan karena kepemilikan tanah yang sulit diidentifikasikan kebenarannya. Keadaan ini dipersulit oleh adanya perbedaan antara hukum negara dengan hukum adat, di mana dalam UU No. 5/1960 dinyatakan bahwa ’tanah adat diakui sepanjang institusi masih ada’. Sementara itu pemerintah sendiri belum mempunyai pedoman tata cara penentuan ganti rugi tanah di pertambangan. Klaim-klaim sesaat juga sering muncul dari kelompok-kelompok yang mengaku memiliki tanah dengan batas-batas tertentu, dan pengesahan tertentu, yang sulit dibuktikan. Permasalahan yang berlarut-larut mengenai konflik pertanahan ini menyebabkan banyak calon investor mengundurkan diri karena tidak mencapai kesepakatan.

 

Dalam permasalahan ini peran pemerintah daerah sebagai penengah sangat dibutuhkan. Sayangnya dalam beberapa kasus, pemerintah daerah justru membiarkan permasalahan ini, sehingga perusahaan harus melakukan negoisiasi sendiri dengan masyarakat atau LSM, untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

 

Di samping mempunyai kontribusi dalam penerimaan pemerintah pusat dan daerah, perusahaan juga wajib menyelenggarakan program pengembangan masyarakat dan harus bertanggung jawab pada lingkungan di sekitarnya. Tabel di bawah menunjukkkan pengeluaran perusahaan pertambangan bagi masyarakat pada tahun 2002 dan rata-rata tahun 1995-2001.

 

 

Beberapa Kontribusi Pertambangan bagi Masyarakat Sekitarnya

 

2002 (Rp Miliar)

Rata-rata 1995-2002 (Rp Miliar)

Pengembangan daerah dan kemasyarakatan

464

160

Sumbangan kemanusiaan dan kontribusi

68

33

Lingkungan

US$ 67 million

US$ 51 milion

Sumber : IMA, 2003

Permasalahan muncul terutama pada peruntukan dana pengembangan masyarakat tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa pada awal pembangunan kegiatan pertambangan, seringkali kegiatan pengembangan masyarakat diasosiasikan dengan sumbangan perusahaan dalam bentuk infrastruktur fisik. Keadaan ini yang kemudian menuai banyak kritik dari berbagai pihak, sehingga perusahaan dianggap justru telah merusak tatanan masyarakat, menyebabkan masyarakat lokal menjadi tidak mandiri dan cenderung manja. Lebih jauh lagi, setelah perusahaan pertambangan tutup, daerah yang relatif maju, menjadi mundur kembali. Keadaan menjadi lebih buruk karena masyarakat sudah tidak terbiasa lagi hidup seperti sebelum kegiatan pertambangan masuk ke daerah.

 

Kondisi ini menyebabkan beberapa perusahaan tambang merubah cara pendekatannya. PT Kaltim Prima Coal, misalnya, telah memiliki program pemberdayaan masyarakat (community development), yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dengan penduduk sekitarnya dan hal ini dapat tercapai jika masyarakatnya mandiri. Pendekatan yang dilakukan KPC kepada masyarakat menjadi fasilitator kelompok-kelompok yang dianggap miskin, tertinggal dan termarjinalisasi. Di luar hal tersebut, KPC juga bekerja sama dengan pemerintah serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama mencapai tujuan masyarakat yang mandiri. Sementara PT Freeport Indonesia, di Papua, di samping mengelola rumah sakit yang sudah berjalan, juga dikembangkan beasiswa untuk sekolah di luar Papua bagi siswa-siswa yang kurang mampu.

 

Kendala yang dihadapi adalah biaya untuk pelaksanaan CD yang cukup besar. Berdasarkan dari data Rencana Kerja dan Anggaran Community Development PT. KPC 2002-2003, terlihat bahwa untuk CD tahun 2002 dianggarkan sebesar hamper Rp. 15,88 milyar dan akan meningkat di tahun 2003 mencapai hamper Rp. 16 milyar. Jumlah ini akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, bantuan pertanian (termasuk ternak dan perkebunan), ketrampilan, UKM, kesehatan, pendidikan, peningkatan kapasitas wanita, social budaya, olah raga, dan pengembangan organisasi.

 

Kedatangan perusahaan pertambangan – bahkan sejak tahap eksplorasi seringkali menimbulkan harapan yang tinggi, khususnya berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar, baik dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun ketersediaan fasilitas infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Dalam hal ini sosialisasi mengenai kegiatan tambang perlu dilakukan, sehingga tidak menimbulkan harapan yang berlebihan.

 

Denngan potensi kegiatan sektor pertambangan untuk turut serta berperan dalam masyarakat sekitar, Pemerintah Daerah diharapkan dapat membantu pengembangan kegiatan sektor pertambangan melalui penetapan kebijakan pembangunan, peraturan-peraturan yang tegas mengatur aktivitas ekonomi di wilayahnya agar dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) pembangunan  daerah yang menguntungkan semua pihak. Khusus untuk pengembangan masyarakat, partisipasi aktif dari Pemda untuk turut serta memetakan permasalahan social-ekonomi di daerahnya sangat diharapkan. Hal ini akan sangat membantu perusahaan untuk memilih kegiatan apa yang akan dilakukan dalam menyelenggarakan program pengembangan masyarakat agar tepat sasaran.

 

*) dicuplik dari Road Map Sektor Pertambangan, 2004

sumber: