Harga Baja Dunia Melonjak
Jakarta, Kompas - Harga jual baja lembaran canai dingin di pasar dunia mencapai 730 dollar AS sampai 740 dollar AS per metrik ton, padahal satu bulan yang lalu harganya masih 440 dollar AS per metrik ton. Pemicu kenaikan harga baja itu adalah meningkatnya harga jual minyak dunia yang dalam tiga bulan terakhir rata-rata berada di atas 40 dollar AS sehingga membuat biaya produksi dan distribusi membengkak. Selain faktor itu, China dan Amerika Serikat berlomba berebut baja di pasar dunia. Hal ini membuat pasar panik dan mendorong berbagai negara konsumen ikut-ikutan melakukan aksi borong baja.
Dampaknya, terjadi disparitas antara kemampuan pasok dan permintaan. Keadaan ini memungkinkan bagi produsen baja untuk menaikkan harga jualnya secara kontinu.
"Bayangkan, sebulan terakhir saya masih memegang price list baja bahwa harga CRC (lembaran canai dingin) dunia masih berkisar 440 dollar AS. Sekarang harganya sudah berubah menjadi 730-740 dollar AS per metrik ton. Sementara untuk HRC (lembaran canai panas) mencapai 650 dollar AS per metrik ton, padahal harga sebelumnya masih sebesar 420 dollar AS per metrik ton," kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) A Safiun, Rabu (29/9) di Jakarta.
Harga minyak yang tidak terkendali merupakan biang keladi melonjaknya harga tersebut karena sebagian besar dari produsen baja dunia menggunakan energi minyak untuk mengolah bahan baku bijih besi menjadi sponge iron. Produk itu kemudian diolah menjadi slab, pelat, maupun produk baja yang ada di sektor hilir.
Dengan kisaran harga yang tetap di atas 40 dollar AS per barrel selama tiga bulan terakhir, jelas tidak mungkin bagi produsen untuk mempertahankan harga lama. Terlebih lagi saat ini permintaan pasar dunia akan baja meningkat tajam, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan China, sehingga kondisi itu menjadi alasan kuat bagi produsen menaikkan harga.
Fakta tingginya pasar ini bisa dilihat dari data Dow Jones yang mengutip laporan dari Departemen Perdagangan AS. Menurut data tersebut, impor baja AS pada bulan Agustus 2004 mencapai 3,096 juta metrik ton atau naik 8,6 persen dari impor bulan Juli. Namun, bila diperhitungkan impornya dari Juli 2003 sampai 2004, kenaikannya sangat tajam, yakni dari 12,7 juta metrik ton menjadi 17 juta metrik ton.
Sangat berbahaya
Keadaan seperti ini, menurut Safiun, sangat berbahaya bagi kelangsungan industri baja nasional, baik di sektor hulu maupun hilir. Kepanikan pasti akan terjadi di sektor hulu untuk berburu bahan baku berupa bijih besi. Bijih besi di pasar pasti akan langka dan kalaupun ada, harganya sudah selangit. Sementara di sektor hilir kondisinya pasti setali tiga uang. Mereka akan berupaya semaksimal mungkin mencari baja impor maupun lokal dengan harga yang memadai bagi industrinya guna memenuhi kebutuhan produksinya.
Sebagai gambaran total kebutuhan baja di Indonesia saat ini mencapai 6 juta metrik ton per tahun. Sementara kapasitas produksi PT Krakatau Steel (KS) untuk mengolah bijih besi menjadi sponge iron mencapai 2,6 juta metrik ton. Namun, kabar yang ada bahwa BUMN baja ini produksinya tidak berjalan optimal sehingga KS hanya mampu memproduksi bijih besi sebanyak 1,6 juta metrik ton. Praktis kebutuhan impor baja pun mencapai 4,4 juta metrik ton per tahun.
"Hal ini sangat berbahaya. Kita akan kelabakan membuat berbagai produk. Jalan yang akan ditempuh oleh produsen hilir yang tak mampu mencari baja adalah mengurangi produksi. Kondisi ini tentunya akan memaksa pelaku industri yang menjadi konsumen produk hilir melakukan impor untuk menutup kebutuhan produksinya. Fakta ini semakin mempertegas kerentanan kita untuk memperkuat industri barang modal sehingga sampai kapan pun rasanya kita sulit keluar dari ketergantungan impor," kata Safiun.
Sementara itu, Direktur Utama PT KS Dainulhay yang dihubungi secara terpisah mengatakan, sebenarnya harga baja tidak naik. Namun, yang naik adalah biaya distribusi atau ongkos kirim dari negara produsen ke negara konsumen. Hal ini merupakan konsekuensi naiknya harga minyak dunia. Mudahnya bisa dilihat perbandingan biaya angkut tiga bulan yang lalu dan sekarang. Beberapa bulan lalu biaya angkut bijih besi dari Amerika Latin mencapai 19 dollar AS metrik ton. Saat ini biaya kirimnya sudah meningkat menjadi 50-70 dollar AS per metrik ton.
"Praktis harga jual bajanya pun menjadi naik. Saat ini KS menjual CRC sekitar Rp 7 juta per metrik ton (769 dollar AS dengan kurs sekitar Rp 9.100-Red). Sementara untuk produksi masih aman karena masih punya stok bijih besi," kata Dainulhay.
Tetap nol persen
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka Depperindag Subagyo mengatakan, pemerintah tetap mempertahankan kebijakan pengenaan bea masuk (BM) nol persen untuk produk baja impor. Dengan demikian, pelaku usaha tidak terlalu terbebani dalam mengimpor produk baja impor. "Kalau harga baja di pasar dunia tinggi dan BM dikenakan, itu kan semakin membebani pelaku usaha," katanya.
Subagyo mengingatkan, dengan harga baja yang tetap tinggi dan bahkan terus bergerak naik, produsen baja di dalam negeri, seperti PT KS, harus tetap memerhatikan kebutuhan di dalam negeri.
"Jangan mentang-mentang harga bagus, produk baja justru cenderung diekspor ke luar," katanya. Hal itu dapat mempersulit industri hilir. Produsen baja lokal ke depan justru harus memerhatikan aspek pengadaan bahan baku, seperti bijih besi untuk produksinya. (ast/fer)
sumber: