Gempa Besar Masih Mengancam Aceh

 

Gempa Besar Masih Mengancam Aceh
Lokasi Patahan Harus Jadi Pertimbangan Bangun Permukiman

Jakarta, Kompas - Saat ini semua perhatian masih tertuju pada gempa dan tsunami yang mungkin terjadi akibat interaksi dua lempeng di pesisir Sumatera. Padahal, ada ancaman gempa yang lebih besar yang bersumber di sesar atau patahan Sumatera.

Ancaman gempa dari patahan Sumatera, yang membelah pulau ini, memanjang dari Teluk Semangko di tenggara hingga Banda Aceh di barat laut.

Kota Banda Aceh bahkan diprediksi akan lebih besar ancaman gempanya dari sesar itu dibandingkan dari subduksi lempeng. Oleh karena itu, lokasi dari patahan di Aceh harus diketahui dan menjadi acuan dalam pembangunan kembali Aceh pascagempa dan tsunami, 26 Desember 2004.

Hal ini menjadi salah satu rekomendasi para pakar gempa dan tsunami pada �the International Conference on the Sumatran Earthquake Challenge� di Padang, yang berakhir hari Minggu (28/8). Pertemuan lima hari yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu dihadiri para pakar dari Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis.

Dijelaskan oleh peneliti dari Puslit Geoteknologi LIPI, Dr Danny Hilman Natawijaya, saat ini data kegempaan dan pergerakan tanah di sesar Sumatera masih sangat minim. Berdasarkan pola pergeseran secara linier, patahan ini bergerak 30 milimeter per tahun.

Sejarah menunjukkan, gempa-gempa besar di sepanjang patahan ini berskala 6,5-7,7 skala Richter. Meski begitu, korban akibat gempa itu tergolong besar. Gempa Liwa di Lampung-Bengkulu pada tahun 1943 misalnya, menelan korban sekitar 230.000 jiwa. Meski kejadian gempa akibat pergeseran di patahan ini telah menelan banyak korban, pemerintah setempat hingga kini kurang memerhatikan tata ruang permukiman yang dilewati sesar Sumatera.

Di Aceh, sesar Sumatera membelah menjadi dua. Percabangan sebelah barat melintasi Banda Aceh, sedangkan yang ke timur membelah Kepulaun Sabang. Di Banda Aceh, sesar melewati daerah permukiman yang padat.

Karena itu, ia menyarankan, dalam pembangunan kembali Aceh peta perlintasan sesar ini dipakai sebagai acuan agar korban jiwa dapat dicegah bila terjadi bencana serupa. Hal ini juga perlu menjadi perhatian pemda di Sumatera yang daerahnya dilewati sesar ini. Di kiri- kanan jalur sesar ini, selebar 20 meter, harus dibebaskan dari permukiman dan bangunan publik.

�Bila pemerintah provinsi dan kabupaten di Sumatera memerlukan peta sesar Sumatera, LIPI dapat menyediakan secara gratis,� tambahnya.

Gempa Padang

Dalam rekomendasi yang dibacakan Deputi Bidang Ilmu Kebumian LIPI Dr Jan Sopaheluwakan, disebutkan tentang pentingnya penelitian lanjutan untuk pembuatan peta batimetri pesisir Sumatera Barat dan Bengkulu, peta topografi daerah pantai, dan penelitian kegempaan di dasar laut kawasan tersebut. Selain itu diperlukan pelacakan jejak gempa dan tsunami masa lalu.

Data ini digunakan untuk mengestimasi daerah yang mungkin tergenang oleh tsunami pada masa yang datang. Lebih lanjut, berdasarkan peta genangan, dibuat perencanaan pembangunan di daerah itu sehingga dapat mengurangi jatuhkan korban jiwa bila bencana itu datang.

Perhatian untuk mengantisipasi tsunami juga akan diarahkan ke Bengkulu. Karena, berdasarkan simulasi tsunami tahun 1833, Bengkulu termasuk yang paling cepat dan besar diterjang tsunami. Ketika itu gempa berkekuatan 8,9 skala Richter menerjang Bengkulu, kemudian Padang. Ketika itu ratusan ribu jiwa menjadi korban.

Untuk lebih mengetahui kecenderungan gempa di pesisir Sumatera akan dilakukan riset batimetri dari Padang hingga ke Bengkulu. Menurut Kepala Puslit Geoteknologi LIPI, Dr Heri Haryono, penelitian ini akan dilakukan menggunakan Kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI. (YUN/NAL)

sumber: