Geliat pertambangan di tengah minimnya investasi

(Bisnis Indonesia) Kontribusi sektor pertambangan, khususnya mineral atau bahan galian terhadap penerimaan negara (ekspor nonmigas) sebagaimana dilaporkan Bank Indonesia sejak lima tahun terakhir (1999-2003) ternyata meningkat.

Prosentase penerimaan sektor ini dibandingkan dengan lebih dari 21 sektor lainnya pun tak bisa dianggap remeh karena dari total penerimaan negara dari ekspor nonmigas selama 2003 saja, kelompok mineral menyumbang 9,9%.

Tidaklah mengherankan jika Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah sebagaimana dikutip salah satu media akhir pekan lalu menyampaikan kritiknya.

Dia bahkan menyatakan perekonomian Indonesia mengalami kemunduran atau set back karena kembali bertumpu pada industri primer.

Dari survai BI pada 2003 terhadap 30 komoditas ekspor andalan, hanya delapan komoditas yang tumbuh positif dan tujuh di antaranya didominasi oleh sektor pertambangan.

Data yang dihimpun Bisnis dari laporan BI terungkap bahwa sejak 1999 hingga 2003 ekspor nonmigas dari produk mineral mencatat pertumbuhan yang signifikan.

Jika pada 1999 nilai ekspor mineral US$2,99 miliar, maka pada 2003 nilainya melonjak menjadi US$4,61 miliar.

Sebenarnya ekspor sektor lainnya selama kurun waktu tersebut juga menunjukkan peningkatan. Hanya saja, khusus untuk mineral dari tahun ke tahun terus memperlihatkan peningkatan, sementara kelompok barang lainnya cenderung berfluktuasi.

Bahkan selama Januari sampai dengan Juni 2004, nilai ekspor mineral sudah membukukan US$1,89 miliar atau 10,76% dari total keseluruhan ekspor nonmigas selama paruh pertama tahun ini yang tercatat US$17,6 miliar.

Laporan BI itu tidak menyebutkan jenis produk mineral andalan ekspor tersebut.

11 Komoditas

Namun, data yang dihimpun dari Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral terungkap hingga kini terdapat 11 komoditas tambang yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Ke-11 komoditas itu meliputi batu bara, tembaga, emas, perak, timah, bauksit, Ni+Co dalam matte, bijih nikel, ferro nikel, nikel dalam ferro nikel, dan granit.

Secara keseluruhan sejak 1999 hingga 2003, hampir sebagian besar volume penjualan ekspor komoditas tambang memperlihatkan peningkatan, meski sebagian lainnya berfluktuasi.

Ekspor batu bara, misalnya, meningkat dari 55,3 juta ton pada 1999 menjadi 83,87 juta ton pada tahun lalu. Begitu juga dengan tembaga dari 624,610 ton (1999) menjadi 1,01 juta ton (2003), ekspor emas naik dari 105,34 ton menjadi 137,85 ton, perak meningkat dari 195,37 ton (1999) menjadi 281,23 ton selama 2003.

Meski ekspor sejumlah komoditas tambang terus meningkat yang berdampak terhadap penerimaan negara untuk sektor tersebut, namun data BI mengungkapkan dari sisi total volume ekspor ternyata dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan.

Secara berurutan dari 1999 sampai dengan 2003, volume ekspor produk mineral sebagaimana dilansir BI adalah 126,34 juta ton, 132,01 juta ton, 185,25 juta ton, 131,09 juta ton, dan 121,05 juta ton. Sementara selama semester pertama 2004 volume ekspor produk mineral mencapai 62,41 juta ton.

Melihat data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan penerimaan negara dari ekspor produk mineral lebih disebabkan membaiknya, bahkan lonjakan harga sejumlah komoditas tambang. Seperti batu bara yang mencapai US$50 per ton pada kuartal pertama tahun ini, dari sekitar US$40 per ton akhr tahun lalu.

Agaknya menjadi tugas dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, khususnya Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral untuk menjaga reputasinya dalam mencetak devisa lebih besar lagi melalui peningkatan produksi mineral, di tengah merosotnya investasi pertambangan yang tahun lalu tinggal US$82,42 juta. Padahal pada 2001 nilainya mencapai US$1,29 miliar.

Oleh Zufrizal
Wartawan Bisnis Indonesia

sumber: