PADANG--MIOL: Anggota Komisi VII DPR RI Ichwan Ishak menyatakan evaluasi tentang PT Freeport Indonesia masih tarik-ulur karena pemerintah menganggap tidak bisa dievaluasi, sementara DPR RI berpikir masih bisa diupayakan. "Kenapa tidak, itu kan masih terus-menerus dan pembahasannya masih berjalan, sembari dievaluasi apa yang berjalan sekarang juga harus diawasi apakah kontrak karya itu sudah berjalan sebagimana mestinya," kata Ichwan kepada ANTARA di Padang, Minggu (19/3). Ia mengisyaratkan itu terkait desakan penutupan PT Freeport Indonesia yang diduga dipicu akibat tidak efektifnya program pengembangan masyarakat (community development), masalah pelaporan hasil produksi yang tidak transparan, nominal pajak dan royalti serta kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Evaluasi terhadap segala sesuatunya, menurut dia, saat ini terus dibahas oleh Panja (panitia kerja) Freeport, dan guna mematangkan evaluasi itu DPR akan berkunjung kembali ke perusahaan itu. Terkait tuntutan penutupan perusahaan tersebut, kata dia, tidak perlu dilakukan secara emosional dan tergesa-gesa karena masalah ini menyangkut tenaga kerja. "Mungkin saja bisa perusahaan yang dibangun pada masa Orba itu ditutup kalau kebijakan itu yang terbaik bagi negeri ini," katanya. Ia mengatakan penutupan perusahaan itu musti dilihat untung ruginya sebab permasalahannya tidak sesederhana itu, menyangkut investasi yang demikian besar dan banyak masyarakat yang tergantung pada perusahaan tersebut. Namun dalam hal ini, dia berharap ketika evaluasi berjalan, ada perbaikan di sana sini, pada akhirnya ada peningkatan kehidupan masyarakat sekitarnya dan pemasukan bagi negara, serta lingkungan harus diperbaiki. PT Freeport Indonesia adalah usaha pertambangan yang dibangun pada awal Orde Baru dalam bentuk kontrak karya. Perusahaan itu dulu dibangun kurang maksimal dalam mengupayakan kepentingan masyarakat di daerah pertambangan, kemudian reformasi berjalan, muncul tuntutan demokratisasi dan otonomi daerah yang makin tinggi, sehingga cara-cara Orba ini (jadi urusan pemerintah pusat) jelas tidak mungkin lagi. Menurut dia, ketika kontrak karya dibuat, pemerintah pusat agak otoriter, sehingga kurang memperhatikan masyarakat Papua, dan lebih banyak membela kepentingan investor. Sebenarnya dalam kontrak karya itu segalanya sudah sesuai aturan tapi dalam pelaksanaannya tidak transparan dan masyarakat serta pemerintah tidak mendapat informasi yang cukup hasil dan dampak lingkungannya. "Kenyataannya memang terjadinya kesenjangan yang begitu besar sehingga bentrokan tidak dapat dihindari," katanya seraya menambahkan bahwa memang evaluasi perlu dipertajam. |