Evaluasi Akhir Tahun Bidang Lingkungan

Evaluasi Akhir Tahun Bidang Lingkungan

Kompas, 29 Desember 2005

 

Jakarta, Kompas - Pengarusutamaan isu pembangunan berkelanjutan dalam pengambilan kebijakan dinilai semakin kabur. Harapan pengarusutamaan tersebut sebelumnya sempat membesar, yang terlihat dari kesamaan langkah pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi.

Kesamaan langkah, termasuk dalam menghadapi persoalan- persoalan lingkungan yang menonjol sepanjang tahun 2005, seperti penanganan kasus pencemaran Teluk Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, tersebut kemudian dinilai melemah. Itu termasuk indikator paling jelas betapa arah pengarusutamaan kian kabur, kata Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Indro Sugianto di Jakarta, Rabu (28/12).

Persoalan lain yang menjadi catatan penting adalah kebijakan pemerintah melalui SK Menneg LH No 82/2005 yang memperpanjang izin penempatan tailing PT Newmont Nusa Tenggara di dasar Teluk Senunu. Sekitar 100.000 ton tailing per harinya dibuang di sana.

Kepada pers, Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyatakan, perpanjangan izin itu adalah pilihan terakhir yang sulit. Itu pun dengan persyaratan yang lebih ketat dari sebelumnya.

Meskipun begitu, kebijakan tersebut mengejutkan banyak pihak di tengah semangat mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan kesepakatan global dalam konferensi di Rio de Janeiro, Brasil, dan Johannesburg, Afrika Selatan. Langkah lain yang menjadi indikator kaburnya arah pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan adalah lemahnya posisi KLH dalam tim penanggulangan penebangan liar.

Menurut Indro, dari belasan lembaga pemerintah yang dilibatkan, KLH justru tidak masuk tim inti. Akibatnya, isu penanganan penebangan liar melenceng, dari substansinya menangani kerusakan lingkungan menjadi sebatas mengejar cukong-cukong kayu. Fakta tersebut, lanjut Indro, sekaligus menunjukkan posisi tawar politik KLH lemah di antara sektor dan di hadapan presiden.

Sebelumnya, para pemerhati lingkungan dan LSM sempat menaruh harapan naiknya posisi tawar isu lingkungan dalam kabinet baru, menyusul visi dan misi pasangan presiden-wakil presiden yang dinilai memberi harapan. Belum lagi harapan itu terwujud, dengan alasan investasi, hutan di jantung Kalimantan akan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1,8 hektar.

Pelaksanaan konvensi

Di tingkat perjanjian global, pelaksanaan konvensi/perjanjian lingkungan internasional yang telah diratifikasi Indonesia pun tidak optimal. Sebanyak 19 konvensi belum dirasakan manfaatnya di dalam negeri.

Hasil kajian kapasitas nasional kerja sama KLH dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) terhadap tiga konvensi yang telah diratifikasi menguatkan hal itu. Di tingkat sistem, lembaga, dan individu semuanya belum optimal, kata Direktur Proyek Pengkajian Inar Ichsana Ishak, mantan Asisten Deputi Urusan Kajian Lingkungan Internasional KLH, yang kini menjabat Asdep Urusan Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa Lingkungan.

sumber: