Enam Belas LSM Tuntut Judicial Review Undang-Undang SDA
Semangat UU Dinilai Merugikan Masyarakat
JAKARTA - Enam belas LSM mengajukan peninjauan kembali (judicial review) atas UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air (UU SDA). Keenam belas LSM tersebut mendaftarkan gugatan mereka pada Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis (1/7). Dalam waktu dekat sekitar 1.000 individu juga akan mengajukan hal yang sama.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Longgena Ginting, judicial review diajukan karena UU tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal tersebut, negara seharusnya mengelola air dan semua kekayaan alam. Tetapi UU SDA memberikan ruang yang sangat besar bagi swasta untuk mengelola sumber daya air. Hal ini tercantum dalam Pasal 40 dan 41 UU SDA.
Akibat dari privatisasi ini, dapat dipastikan air akan semakin mahal dan itu akan mempersulit akses orang miskin terhadap air. "Akan banyak masalah sosial yang muncul bila air yang selama ini public goods menjadi private goods. Dan ada banyak semangat dalam UU ini yang yang sangat merugikan masyarakat. Untuk itu kita meminta MK melakukan pengujian terhadap UU tersebut," katanya.
Menurut penasihat hukum 16 LSM tersebut Muhammad Arfiandi, ada dua gugatan yang akan diajukan. Pertama adalah gugatan secara formal, yakni pengesahan UU No 7 tahun 2004 tidak sesuai dengan UU No 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Keputusan yang diambil dalam sidang paripurna tanggal 19 Februari 2004 lalu dinyatakan diambil secara mufakat. Padahal, fakta dan kenyataan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa fraksi dan anggota DPR yang menolak pengesahan SDA. Ada tujuh anggota DPR yang keberatan atau menolak pengesahan tersebut. Dengan demikian, tindakan pimpinan rapat paripurna tetap memaksakan pengambilan suara secara mufakat dan tidak dengan suara terbanyak berdasarkan pasal 192.
Kedua, gugatan dilakukan secara materiil. Hampir semua pasal dalam UU tersebut berada pada prinsip privatisasi dan komersialisasi air. Kita minta UU itu dicabut, bukan per pasal karena jiwa UU tersebut adalah privatisasi," katanya.
UU tersebut dinilai tidak memberikan batasan kepemilikan swasta, termasuk kepemilikan swasta asing dalam sektor pengelolaan air. UU tersebut juga tidak menyebutkan batasan bentuk kerja sama yang terbuka ataupun tertutup bagi partisipasi swasta.
Privatisasi sektor air ini cenderung pada kepemilikan asing. Hal ini dimungkinkan dengan adanya Keppres no 9 tahun 2000 yang membolehkan investor asing dengan kepemilikan sampai 95 persen dalam sektor air. Keputusan tersebut merupakan bagian dari prasyarat pinjaman Bank Dunia. UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, juga tidak memberikan batasan modal asing dalam kepemilikan per orangan di BUMN di berbagai sektor.
UU itu juga memberikan ruang seluas-luasnya bagi swasta untuk menguasai sumber air. Pemberian hak bagi swasta untuk menguasai sumber air dijabarkan UU melalui izin Hak Guna Usaha (HGU). HGU menjadi instrumen baru yang menentukan hak pengusahaan atas sumbersumber air yang ada. Dengan sifat tersebut, instrumen HGU merekonstruksi penguasaan sumber-sumber air, termasuk sumber air yang telah diusahakan bagi kepentingan bersama masyarakat.
Dengan keterbatasan masyarakat setempat menempuh proses formalitas tersebut dan potensi ketidakberpihakan aparat pemerintah, sumber-sumber air yang menjadi milik bersama masyarakat dapat dialihkan menjadi hak swasta dengan pemberian HGU. "Formalitas lebih menentukan hak kepemilikan di mata hukum dan birokrasi sebagaimana yang selama ini berlangsung," katanya.
Dengan privatisasi pengelolaan air, pemerintah tidak dapat menjalankan peran memberikan jaminan dan perlindungan kepada kelompok tidak mampu, diantaranya masyarakat miskin dan petani. Kelompok yang tidak mampu membayar akan mencari sumber air lain dengan dengan risiko kualitas dan kuantitas yang tidak memadai.
Pertanian akan menjadi mahal karena petani membayar air kepada swasta pengelola irigasi. Petani tidak mampu bertahan di sektor pertanian dengan adanya privatisasi dan komersialisasi air. Jika ini terjadi maka kebutuhan pangan bangsa Indonesia akan tergantung pada pasokan pangan dari luar. Hal ini sangat membahayakan keamanan pangan dalam negeri.
Dia berharap, meskipun MK sedang dibanjiri beragam kasus, judicial reveiew UU SDA dapat segera dilakukan. "Kasus ini sangat dipengaruhi oleh Hakim Konstitusi. Kami harap, sesuai peraturan harus sudah ada tanggapan dalam waktu 14 hari. Meski akhir-akhir ini marak dengan isu pemilu, kami harap UU SDA tidak dilupakan," kata Longgena. (TJA/AS/N-5)
sumber: