Tanjungbalai Karimun, Riau, (ANTARA News) - Penambangan biji granit dan timah secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan di Pulau Karimun, Provinsi Riau, sejak tahun 1970-an, kini semakin mengancam kelestarian hutan lindung pulau seluas 80 km persegi itu.
Di depan rombongan anggota Komisi VII DPR-RI yang meninjau Kabupaten Karimun, Provinsi Riau, Senin (12/12) anggota DPRD II Tanjungbalai Karimun, Eriawan, mengatakan, hutan lindung di bukit-bukit Karimun kini semakin terancam oleh perusahaan tambang yang merambah kawasan hutan lindung.
"Sampai sekarang, kita tidak tahu persis batas-batas antara hutan lindung dan wilayah yang boleh dieksploitasi untuk tambang granit dan timah," katanya.
Ketua Komisi VII DPR yang antara lain membidangi lingkungan hidup, Agusman Effendi, mengatakan, sangat prihatin menyaksikan lubang-lubang dengan diameter sekitar 1.000 meter dengan kedalaman sekitar 100 meter bekas lokasi penambangan granit dan timah di Karimun.
Lubang-lubang itu dibiarkan terbuka menganga tanpa ada upaya penambang dan Pemda sempat menutup kembali dan di dalamnya tergenang air warna kebiru-biruan bekas limbah pengolahan granit.
"Pemerintah harus mengevaluasi kembali izin penambangan itu karena kelayakan ekologis perusahaan-perusahaan tersebut pantas dipertanyakan," kata Agusman.
Menurut Eriawan, jika hutan lindung Bukit Karimun dibiarkan tergerus oleh eksploitasi penambangan, maka tidak ada lagi pohon-pohon yang berfungsi sebagai konservasi air.
"Ini akan menjadi malapetaka bagi penduduk Karimun. Krisis air pasti akan terjadi," kata Eriawan menambahkan.
Jumlah penduduk di Pulau Karimun saat ini mencapai sekitar 130 ribu orang yang sebagian besar tinggal di rumah-rumah sangat sederhana berdinding kayu dan beratap rumbai.
"Banyak penduduk Karimun yang hidup di bawah garis kemiskinan walaupun daerah mereka menghasilkan devisa yang cukup besar dari hasil penambangan berupa granit dan timah yang diekspor ke luar negeri," Eriawan.
Ia mengatakan, setiap tahun, Pemda Kabupaten Karimun hanya mendapat pemasukan dari PT Karimun Granite sebesar Rp2 miliar.
"Mestinya kalau pemerintah pusat tidak mengambil keuntungan untuk Pemda, Pemda Riau bisa memperoleh Rp10 miliar per tahun (dari PT Karimun Granite)," katanya.
Meskipun ada UU Otonomi Daerah, sebagian besar pendapatan daerah dari hasil sektor sumber daya mineral itu masih dinikmati pemerintah pusat, katanya.
Warga Karimun, menurut wakil rakyat dari PPP itu, tidak mendapat bantuan dari perusahaan-perusahaan penambangan di sekitarnya.
Beasiswa untuk anak-anak juga tidak diperoleh oleh warga setempat. Perusahaan-perusahaan itu hanya mau menyumbang pembangunan musholla dan fasilitas umum saja, katanya.
Perusahaan-perusahaan tambang itu juga mengganggu kehidupan warga setempat karena terjadinya ledakan-ledakan dinamit bertubi-tubi yang dilakukan untuk aktivitas penambangan, katanya.
Fondasi rumah-rumah di sekitar lokasi penambangan menjadi retak-retak, bahkan sejumlah sumur penduduk rusak karena pengaruh getaran dari ledakan dinamit itu, kata Eriawan |