Dunia Menunggu Perkembangan Ekonomi China
Kompas - TRANSFORMASI ekonomi yang dilakukan oleh China dan integrasinya ke dalam pasar global menjadi salah satu perkembangan ekonomi dunia yang sangat dramatis dalam dekade terakhir ini. Kinerja pertumbuhan ekonomi China sejak dua dekade yang lalu sangat spektakuler dengan pertumbuhan produk domestik bruto yang rata-rata hampir mencapai angka delapan persen. Dengan kondisi seperti itu China telah menempati peringkat enam besar ekonomi dunia.
PERKEMBANGAN perdagangan yang sangat mencolok terjadi pada masa itu. Ekspor dan impor China terus mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 15 persen per tahun sejak tahun 1979. Kenaikan ini akibat reformasi perekonomian dan juga pembukaan ekonominya terhadap investasi asing. Perkembangan ini juga telah mengakibatkan pertumbuhan ekspor sejumlah negara tetangganya mengalami peningkatan.
Meski demikian, sebenarnya sejak awal sudah ada kecemasan soal melesatnya pertumbuhan ekonomi China, seperti kondisi perbankan yang memiliki kredit bermasalah, pengangguran, dan juga ketimpangan pendapatan di dalam negeri China antara daerah yang termasuk pusat, seperti Beijing dan Shanghai, serta daerah yang di luar wilayah pusat. Persoalan lainnya, perkembangan di China telah mengakibatkan kenaikan harga berbagai komoditas di pasar internasional. Kebutuhan China terhadap bahan baku telah menyedot sejumlah komoditas dari berbagai pasar sehingga harganya melonjak.
Dana Moneter Internasional (IMF) sudah melihat berbagai kemungkinan yang terjadi di China, setelah meneliti perkembangan yang sangat tinggi itu. Dalam laporan berjudul China’s Growth and Integration into The Wolrd Economic-Prospect and Challenges, yang merupakan hasil penelitian tahun lalu, IMF menyebutkan, kelanjutan pertumbuhan ekonomi China dan juga integrasinya ke dalam ekonomi global tergantung pada keberhasilan Pemerintah China dalam mengendalikan sejumlah risiko finansial dan sosial yang tengah dihadapi China.
Keputusan pengetatan ekonomi yang dilakukan China beberapa pekan lalu menjadi upaya untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya pemanasan yang berlebihan terhadap perekonomian negara itu. Tidak ada bedanya ketika ekonomi China melambung sangat pesat hingga menjadi pusat perhatian banyak pihak termasuk analis, kini keputusan pengetatan ekonomi China juga menjadi perhatian dan ditunggu banyak pihak. Apa yang akan terjadi dengan China?
Dalam sebuah diskusi antara IMF dengan wartawan ekonomi di kawasan Asia Pasifik di Bangkok, Thailand, Jumat pekan lalu, ekonom dari IMF menganalis, dampak dari rencana pengetatan ekonomi China terhadap perekonomian regional bisa dikendalikan. Pengetatan itu tidak akan menimbulkan goncangan (soft landing) bagi perekonomian regional. Pertumbuhan impor yang dilakukan China masih tergolong tinggi.
Pada hari yang sama salah satu Direktur Lembaga Pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Asia Chew Ping di Seoul seperti dikutip Reuters juga mengatakan, pengetatan ekonomi China tidak akan menimbulkan goncangan besar. S&P juga menyatakan, tidak akan ada revisi dalam waktu dekat terhadap tinjauan peringkat kredit negara itu yang masih positif.
Pengetatan ekonomi itu mulai dilakukan dengan adanya tindakan bank sentral yang mulai memperketat kebijakan moneternya. Bank sentral mulai menurunkan pertumbuhan ketersediaan uang dan kredit dengan sejumlah upaya melalui pasar uang, seperti peningkatan uang yang terdapat di dalam bank komersial ke dalam bentuk cadangan. Pengucuran kredit perbankan juga telah mengalami penurunan.
LANGKAH yang dilakukan oleh China dan juga dampaknya terus diikuti oleh pengamat dan pejabat keuangan dari berbagai negara. Perubahan sekecil apa pun terus dianalisis dengan berbagai kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian regional dan global.
Deputi Kepala Departemen Asia Pasifik IMF Thomas Rumbaugh dan Asisten Direktur Regional Asia Pasifik IMF Charles Adams dalam acara itu mengatakan, dampak pengetatan ekonomi China tidak banyak mengguncang ekonomi regional. Mereka memperkirakan dampak pengetatan ekonomi bisa dikendalikan.
"Dengan tinjauan ekonomi dunia secara umum yang makin membaik, tinjauan ekonomi untuk wilayah Asia masih termasuk sehat. Jadi, jika sekalipun terjadi pengetatan pertumbuhan China sangat tajam, dampak ekonomi pada wilayah ini masih dapat dikendalikan," kata Rumbaugh. Kebijakan ekonomi makro dengan mengurangi pemanasan yang terjadi di China akan berlangsung mulus.
Ia memperkirakan, dampak dari penurunan 10 persen pertumbuhan impor China untuk produk bukan olahan tidak menurunkan secara drastis pertumbuhan volume ekspor negara lain. Sebagai contoh, pertumbuhan volume ekspor negara-negara di Asia (tanpa China) untuk tahun ini dari semula 8,6 persen (berdasarkan World Economic Outlook) akan turun menjadi 7,6 persen, setelah pengumuman pengetatan ekonomi China. Lebih spesifik lagi, ekspor dari ASEAN hanya akan turun dari 4,8 persen menjadi 4,1 persen (lihat tabel-Red).
Rumbaugh mengatakan, dengan perkiraaan itu, secara keseluruhan perekonomian China dan juga wilayah Asia tetap sehat. Integrasi China ke perekonomian regional dan global akan terus terjadi. Untuk itu, tantangannya adalah mengendalikan proses ini dan mewujudkan potensi ekonomi China, serta mengaitkannya dengan sejumlah risiko ekonomi makro yang ada di negara itu.
Sementara Chew Ping menyebutkan, pengetatan ekonomi China tidak akan mengalami guncangan bila sejumlah upaya yang dilakukan China akan berjalan dengan baik. Langkah utama yang dilakukan adalah membuat target, terutama untuk sektor yang mengalami investasi berlebihan, seperti otomotif dan infrastruktur. Langkah lainnya, pembatasan pengucuran kredit dan mencegah pemotongan modal untuk industri yang membutuhkannya, seperti sektor energi dan infrastruktur.
Apabila langkah-langkah yang dilakukan China itu gagal, akan berdampak pada perekonomiannya. China terpaksa akan menaikkan suku bunga perbankannya atau nilai tukar mata uangnya. Beberapa investor menduga China akan menaikkan suku bunganya dalam beberapa pekan. Bila ini terjadi, untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun, China melakukan itu sebagai upaya untuk mengerem perekonomiannya.
BERBAGAI kecemasan dan harapan berbaur menjadi satu. Di tengah kecemasan masih ada juga harapan. Banyak pihak menduga dampak dari pengetatan ekonomi China tidak akan parah. Harian di Bangkok membuat judul yang menyebutkan, defisit anggaran Amerika Serikat lebih mencemaskan dibandingkan dengan pengetatan ekonomi yang dilakukan China.
Ekonom IMF mengatakan, pertumbuhan ekonomi China akan terus terjadi meski harus diikuti dengan sejumlah perbaikan. Untuk mempertahankan pertumbuhan di China dan menjaga agar harga-harga produk tetap rendah, pasokan bahan baku dan bahan antara (intermediate goods) menjadi sangat penting. Pertumbuhan investasi yang sangat tinggi telah menaikkan harga bahan baku dan bahan antara. Akan tetapi, secara bertahap, dengan penambahan kapasitas di sejumlah lini produksi, sebenarnya penurunan harga akan bisa dilakukan untuk produk-produk yang dihasilkan oleh pabrikan.
Pertumbuhan China juga masih memerlukan perubahan akibat adanya ketimpangan pendapatan antara wilayah pusat dan daerah, serta meminimalkan kemungkinan ancaman stabilitas sosial. Sebagai contoh, pendapatan per kapita untuk penduduk Shanghai mencapai 33.285 Renminbi, sedangkan pendapatan penduduk di Guangxi hanya 5.092 Renminbi. Di sisi lain, sumber daya untuk provinsi yang miskin dalam hal layanan sosial tidak memadai. Sebaliknya wilayah pusat, akses layanan sosial sangat mudah.
Pertumbuhan China juga masih membutuhkan reformasi sistem perbankan agar kinerja ekonominya tetap tinggi. Perbankan menjadi sangat penting di China karena tidak adanya pasar obligasi dan juga minimnya bursa saham. Sejumlah usaha harus dilakukan untuk mempercepat restrukturisasi perbankan serta memperkuat neraca keuangannya. Hal itu perlu dilakukan karena saat ini aset bermasalah di China masih tinggi, yakni mencapai sekitar 40 persen. Di sisi lain sesuai dengan kesepakatan WTO, maka sektor keuangan akan dibuka pada Desember 2006.
"Rencana restrukturisasi dipantau secara cermat, perbankan harus dijalankan dengan dasar-dasar komersial. Tambahan perbaikan harus dilakukan seperti sistem hukum, reformasi BUMN, dan reformasi secara menyeluruh terhadap tata kelola yang ada," kata Rumbaugh.
Hal yang juga tak kalah penting adalah masalah pengangguran. Masalah ini mendesak untuk diselesaikan di China. Pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 12 juta hingga 15 juta harus dilakukan setiap tahunnya. Upaya peningkatan lapangan pekerjaan di sektor swasta diperlukan, terutama untuk sektor jasa. Pembatasan migrasi pekerja dibutuhkan untuk menurunkan surplus tenaga kerja di wilayah perkotaan. Fungsi pasar tenaga kerja perlu diperbaiki, apakah itu soal informasi peluang tenaga kerja, agen tenaga kerja, dan asuransi bagi penganggur.
Dengan penduduk yang mencapai 1,4 miliar dan perkembangan ekonomi China yang masih tinggi, perubahan di negara itu membuat banyak pihak berdebar-debar akan terjadinya berbagai kemungkinan. Mereka menunggu dampak yang timbul akibat pengetatan ekonominya berikut langkah yang akan dilakukan mereka. Laporan mengenai kondisi di China menjadi bahan yang bermanfaat dan ditunggu semua pengambil kebijakan.
Diskusi mengenai perekonomian China oleh berbagai kalangan tidak akan pernah habis. Berbagai analisis muncul termasuk di dalam diskusi antara IMF dan wartawan di Bangkok, yang di akhir diskusi sempat pula terselip pertanyaan menggelitik dari salah satu peserta.
"Apakah pengetatan ekonomi di China tidak akan mengakibatkan krisis ekonomi lagi," katanya yang diikuti tawa peserta diskusi. Salah satu ekonom dari IMF yang hadir menjawab, kemungkinannya 100 persen tidak terjadi. Jawaban ini kembali membuat peserta diskusi tersenyum. (ANDREAS MARYOTO)