DPR: Tinjau Ulang Kontrak Freeport

DPR: Tinjau Ulang Kontrak Freeport

Panja meminta pemerintah melakukan audit total PT Freeport.

Republika, 27 Februari 2006

 

JAKARTA -- Panitia Kerja (Panja) DPR mendesak pemerintah mengaudit PT Freeport Indonesia. Audit ini untuk mengetahui dampak ekonomi, sosial, maupun lingkungan akibat penambangan yang dilakukan. Panja DPR juga meminta dilakukan negosiasi ulang atas kontrak karya (KK) Freeport.

\'\'Kontrak karya Freeport harus direnegosiasi dan dicapai perjanjian baru yang lebih adil dan transparan,\'\' kata Sekretaris Panja Freeport, Tjatur Sapto Edy, kemarin (26/2) di Jakarta.

Renegosiasi ini dikarenakan keuntungan Indonesia atas beroperasinya Freeport tidak terlalu besar. \'\'Kita cuma memperoleh 250 juta dolar per tahun. Itu termasuk royalti dan pajak,\'\' katanya.

Bila dibandingkan dengan keuntungan Freeport, perolehan Indonesia tergolong jauh lebih kecil. Padahal, efek dari penambangan itu menyebabkan kerusakan gunung hingga laut di Papua.

Panja meminta pemerintah melakukan audit total oleh tim independen yang melibatkan masyarakat Papua maupun LSM. Sambil menunggu audit selesai, harus dilakukan moratorium (penghentian) sementara operasional Freeport.

\'\'Kalau harus menunggu hingga 2021, kapan kita bisa menikmati kekayaan alam sendiri,\'\' ujarnya. Tjatur juga meminta agar kandungan konsentrat tambang dibuka. Selama ini hanya tiga persen saja konsentrat yang diolah di Indonesia. \'\'Kita tidak pernah tahu apa kandungannya,\'\' katanya.

Freeport beroperasi untuk kontrak pertama pada 1973 hingga 2003. Pada 1991, kontrak diperpanjang 30 tahun karena ditemukan cadangan baru.

Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf, pernah mencermati KK kedua yang diperpanjang, meski KK yang pertama belum habis. Menurut dia, ditinjau dari sisi lingkungan hidup dan pengembangan potensi masyarakat, Indonesia tidak diuntungkan.

Pengolahan konsentrat yang mengandung bijih emas, perak, dan tembaga, dilakukan di luar negeri. Padahal, kalau diolah di Indonesia akan menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Sementara dalam KK kedua, persoalan ini tidak diatur secara tegas dan jelas.

\'\'Kalau menyerap tenaga kerja, kan tidak ada yang mengais-ngais lagi di tailing lalu ditembaki,\'\' katanya. Ia juga mempermasalahkan belum dibangunnya saluran pembuangan limbah (tailing).

Jasa-jasa yang berkembang dari industri penambangan Freeport, tambahnya, tidak ditangani putra Papua. Ia mencontohkan jasa penyediaan kebutuhan pokok Kota Kuala Kencana yang ditangani asing. Sementara, bahan makanan diimpor dari Australia atau Selandia Baru.

Urusan suplai makanan ini dicantumkan dalam KK. \'\'Impor daging, buah-buahan atau minuman sepenuhnya ditangani asing. Ini menunjukkan Freeport eksklusif,\'\' katanya.

Freeport beralasan suplai itu dilakukan karena makanan dan minuman mereka harus memenuhi standar tertentu. Jika suplai makanan saja diserahkan ke asing, maka semakin besar potensi yang lari ke luar negeri.

Dengan berbagai alasan itu, Sonny meminta KK kedua ditinjau kembali dengan memberikan andil lebih luas kepada masyarakat Indonesia. \'\'Saya kira Freeport tidak dirugikan kalau penyediaan jasa kebutuhan dan teknologi oleh masyarakat Indonesia, sehingga tidak perlu impor,\'\' katanya.

Hasil pemantauan rutin pengelolaan lingkungan di Freeport, kata Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, akan diketahui dua pekan inggu lagi. Kementerian LH telah mengirim tim pemantauan sejak 10-22 Februari 2006 yang hasilnya akan diteliti di Laboratorium Serpong.

\'\'Laporan dugaan pencemaran kami tanggapi dengan serius. Kementerian LH telah menurunkan 21 orang untuk menyelidikinya,\'\' kata Rachmat. Pada tahun ini, Kementerian LH akan menilai kinerja Freeport dalam pengelolaan lingkungan melalui Proper.

Proper adalah standar penilaian apakah perusahaan ramah lingkungan atau tidak. Kategorinya dibedakan dalam empat warna, yaitu hitam, merah, biru, dan hijau.

Kegiatan Freeport yang sempat terhenti sejak Rabu (22/2), Sabtu (25/2) kembali beroperasi setelah palang yang memblokir jalan menuju lokasi pertambangan itu dibuka masyarakat di ruas jalan Mile 72-74 Tembagapura.

Kontrak Karya Freeport

April 1967
Freeport Indonesia (FI) menandatangani kontrak karya (KK) I. Freeport menjadi satu-satunya perusahaan yang mengelola kawasan Ertsberg, Papua Barat, seluas 10 km persegi. Kontrak berlaku selama 30 tahun, dimulai Desember 1967, saat eksplorasi Ertsberg dimulai.

Januari 1988
Freeport menemukan deposit emas di kawasan Grasberg. Freeport McMoran Copper and Gold (induk FI) go public di Bursa New York (kode saham: FCX)

Desember 1991
Kontrak Karya II ditandatangani dengan jangka waktu 30 tahun, dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 10 tahun. Kontrak ini dinilai banyak kalangan tak transparan dan kental unsur KKN.

September 2002
Bursa Efek Surabaya (BES) menyetujui go private Indocopper. Saham Indocopper pernah dimiliki Nusamba dan Group Bakrie, tapi kini seluruhnya dikuasai Freeport McMoran

Pemegang Saham Freeport Indonesia
Freeport McMoran Copper&Gold 81,28 persen
Indocopper Investama Corp 9,36 persen
Pemerintah Indonesia 9,36 persen
Sumber: Freeport Indonesia

 

sumber: