DPR Mungkin Setuju Perpu 1/2004 karena Adanya Ancaman Arbitrase

Jakarta, Kompas - Meskipun DPR belum mengambil keputusan untuk menyetujui penambangan di hutan lindung, sudah ada spekulasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Kehutanan akan disetujui. Perkiraan itu muncul karena adanya kekhawatiran Panitia Khusus DPR terhadap tuntutan arbitrase dari perusahaan yang tidak mendapat izin di hutan lindung.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perpu No 1/2004 H Herman Widyananda seusai rapat Panitia Kerja (Panja) Perpu No 1/2004 di Jakarta, Senin (12/7), mengatakan, anggota Panja memang menghadapi dilema memilih antara investasi dan lingkungan. Kalau melindungi hutan, ada kekhawatiran menuai tuntutan arbitrase.

"Kami belum sampai pada kesimpulan karena semuanya baru diputuskan hari Kamis (15/7) oleh seluruh fraksi dalam rapat paripurna DPR. Tetapi tetap ada kekhawatiran dituntut dari perusahaan yang tidak diizinkan untuk menambang di hutan lindung," ujar Herman.

Ketika ditanya kenapa mesti takut arbitrase untuk menjaga hutan, Herman mengatakan sebagian besar perusahaan yang dilarang adalah perusahaan Amerika Serikat. Negara mereka tak menandatangani Protokol Kyoto yang menjadi kesepakatan bersama untuk mengurangi pemanasan global.

Herman juga mengatakan bahwa tuntutan arbitrase bisa mencapai setengah dari anggaran belanja negara. Selain itu, tanpa tuntutan arbitrase pun kondisi investasi bisa menjadi buruk.

Tolak perpu

Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, DPR tidak selayaknya mengesahkan Perpu No 1/2004. Selain tidak memenuhi prasyarat sebagai sebuah perpu dan bertentangan dengan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No III/MPR/2000.

"Perpu tersebut juga tidak jelas kepentingannya bagi bangsa dan masyarakat dan cenderung bersifat destruktif terhadap wilayah penghidupan rakyat, upaya kelestarian lingkungan hidup, dan sumber daya alam. Jika perpu ini tetap disetujui DPR dan disahkan, maka Indonesia akan kehilangan nilai modal ekologi tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun," kata Elfian.

Soal ancaman tuntutan arbitrase, Elfian menilai, operator pertambangan asing tidak dapat melakukan tuntutan arbitrase baik berdasarkan pasal kontrak karya, Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (PMA), dan pasal arbitrase Bilateral Investment Treaties/BIT dan Multirateral Investment Treaties/MIT.

Hal ini karena Pemerintah Indonesia tidak bisa dituduh sebagai pihak yang melakukan wanprestasi karena memang tidak ada pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam kontrak karya. Selain itu, tidak ada dasar argumen yang kuat bagi operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase internasional berdasarkan Pasal 21-22 UU Penanaman Modal Asing.

"Pasal 21-22 UU PMA memang memberikan hak kepada investor asing yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing," kata Elfian Effendi menjelaskan.

 

Daerah menolak

Dari Kalimantan Timur, kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat menyatakan menolak penambangan hutan lindung yang ada di provinsi ini. Di Kaltim, rencananya ada satu perusahaan yang diizinkan melakukan penambangan di kawasan Hutan Lindung Bontang.

Anggota Pansus Lingkungan Hidup DPRD Kaltim, Agus Sukatja, mengatakan, sebaiknya penambangan di hutan lindung tidak dilakukan karena akan semakin merusak kawasan. Apalagi, hutan lindung ini merupakan salah satu kawasan untuk perlindungan fungsi tata air. Di kawasan Hutan Lindung Bontang terdapat daerah aliran sungai Santan.

"Kalau di luar hutan lindung masih banyak, kenapa harus menambang di kawasan lindung. Kerusakan sudah sangat parah, sebaiknya penambangan di hutan lindung tidak usah," tutur Agus Sukatja. 

sumber: