Departemen ESDM Keberatan dengan Kebijakan Pungutan Ekspor

Departemen ESDM Keberatan dengan Kebijakan Pungutan Ekspor

Pungutan Diskriminatif

Kompas, 20 Oktober 2005

Jakarta, kompas - Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pernah menyatakan keberatan atas rencana Departemen Keuangan memberlakukan pungutan ekspor terhadap komoditas tambang. Bahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyurati Menteri Keuangan tentang hal tersebut.

Demikian dikemukakan Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM Simon Sembiring, Rabu (19/10). ?Sewaktu rencana pungutan itu masih dalam pembahasan, Menteri ESDM sudah menyatakan ketidaksetujuannya, ujar Simon.

Meskipun masih masuk dalam kewenangan Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan No 95/PMK/02/2005 tanggal 11 Oktober 2005 tentang Pajak Ekspor Komoditas Batu Bara akan berdampak besar terhadap iklim pertambangan di Indonesia. Peraturan itu menjadi ganjil karena tak dilakukan di negara lain, bahkan di China dan Australia, yang terhitung sebagai eksportir batu bara besar.

Dikhawatirkan, pungutan ekspor (PE) atas komoditas batu bara akan menghidupkan diskriminasi antara perusahaan yang dikenai dan tidak. Perusahaan pertambangan yang terkena PE itu adalah perusahaan penanaman modal dalam negeri, kuasa pertambangan (termasuk PT Tambang Batu Bara Bukit Asam), dan kontraktor kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara generasi II dan III. Perusahaan yang masuk PKP2B generasi I (kontrak ditandatangani tahun 1981- 1987), dikecualikan dari semua pungutan pajak. Mereka ini adalah perusahaan yang akan mendapat penggantian (restitusi) dari pemerintah atas pajak yang dikeluarkan.

Dengan adanya restitusi atas kontraktor generasi pertama itu, kalau dihitung-hitung, PE hanya menyumbang Rp 200 miliar-Rp 300 miliar ke kas pemerintah, kata Simon.

Pengamat pertambangan Singgih Widagdo mengatakan, pemerintah perlu transparan tentang latar belakang keluarnya PE batu bara. Di satu sisi, memang perlu menjamin pasokan batu bara di dalam negeri. Di sisi lain dengan harga yang tinggi di pasar internasional terlihat kecenderungan pemerintah menangguk keuntungan. Harga batu bara 38-40 dollar AS per ton, ongkos produksinya 18-20 dollar AS.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, PE bukan instrumen mencari uang atau penerimaan negara, melainkan instrumen perdagangan. PE sebagai produk untuk mengutip ekspor, implikasinya bisa disinsentif bagi daya saing ekspor, katanya.

Apabila kebijakan itu dibuat berdasarkan pertimbangan hanya untuk menutupi gangguan cash flow anggaran pemerintah, sektor riil bisa kacau. Nanti, malah income tax menjadi berkurang karena kegiatan ekspor terganggu atau berkurang dan pengangguran bertambah.

sumber: