Daerah Tak Dapat Sesukanya Jalankan Otda

Daerah Tak Dapat Sesukanya Jalankan Otda

Suara Karya, 28 Juli 2005

 


PEKANBARU (Suara Karya): Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Ma`ruf menyatakan, hakikat otonomi sebenarnya, daerah tidak dapat sesukanya menjalan-kan otonominya, berapa pun luas otonomi yang diberikan kepada daerah.

"Daerah masih tetap terikat dalam koridor, norma standar dan prosedur yang menjadi unsur pengikat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ujar Mendagri melalui Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kautsar dalam "Workshop muatan materi RPP tentang pembagian urusan pemerintahan bidang kelautan, perikanan dan kehutanan," di Pekanbaru, Rabu.

Untuk itu, lanjut Menteri, peran gubernur sangat vital dalam menjaga keutuhan NKRI dengan cara mengawasi dan memfasilitasi, agar otonomi mampu menyejahterakan rakyat dan mencegah timbulnya gerakan sentrifugal dalam bentuk separatisme atau gerakan memisahkan diri.

Menurutnya, otonomi luas akan berimplikasi pada adanya tuntutan, agar daerah melakukan urusan-urusan atau kewenangan yang erat kaitannya dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Terdapat dua strategi utama dalam menentukan visi otonomi daerah, pertama otonomi harus mampu memosisikan daerah untuk menyediakan pelayanan pokok kepada warganya seperti penyediaan air bersih, pendidikan, kesehatan sebagainya. Kedua, otonomi harus mampu mengembangkan sektor unggulan yang menjadi koordinasi kompoten sesuai dengan karakter daerah yang bersangkutan.

Ditambahkannya, otonomi tidak dapat dipisahkan dari desentralisasi yang memayunginya, yang pada dasarnya ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan.

"Dalam ruang politik dan demokrasi, satu instrumen sudah dilaksanakan dalam kaitannya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara dalam tujuan kesejahteraan rangkaian instrumen ada tujuh elemen dasar yang menjadi pijakan dan pegangan dalam proses itu semua," ujarnya.

Ketujuhnya adalah menyangkut kewenangan urusan, menyangkut kelembagaan, keuangan daerah, personel, perwakilan dalam hal ini DPRD, koordinasi utama dalam kaitan otonomi yaitu public service dan pengawasan.

Keluarnya UU nomor 22 tahun 1999 dan diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004, telah menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam hubungan pusat dan daerah. Slah satu perubahan yang signifikan adalah perubahan dalam kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Secara empirik selama berlakunya UU nomor 22 tahun 1999 telah diwarnai terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah dan bahkan antardaerah sendiri. Kondisi tersebut disebabkan karena belum adanya sinkronisasi antara peraturan perundangan-undangan otonomi daerah dengan peraturan perundang-undangan sektor.

"Bila kondisi tersebut dibiarkan terus, akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum dan mengaburkan tugas serta tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintahan. Di samping itu dari aspek pemulihan ekonomi nasional kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan berakibat pada berkurangnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia yang justru saat ini lagi giat-giatnya dikampanyekan pemerintah," katanya.

UU Nomor 32 tahun 2004, telah berupaya untuk menata kembali pembagian urusan pemerintahan dengan mengatur adanya tiga kriteria yang dipakai sebagai acuan dalam menyusun pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Workshop sehari tersebut diikuti para gubernur di Indonesia, Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Sutiyoso, pejabat di Dinas Perikanan, Kelautan dan Kehutanan dari seluruh Indonesia.

Cemas

 

Usai pembukaan workshop digelar jumpa pers yang dihadiri Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Gubernur DKI Jakarta yang juga ketua APPSI Sutiyoso, Gubernur Gorontalo yang juga wakil ketua APPSI Fadel Muhammad dan Kausar AS.

Dalam kesempatan itu Sutiyoso mengaku mencemaskan sikap pemerintah pusat jika sampai tidak mengakomodasi aspirasi daerah dalam menyusun peraturan pemerintah (PP) menyangkut UU 32/2004. "Itu memang juga menjadi kecemasan saya. Apa yang kita bahas di sini bisa mentah jika pusat sampai tidak mengakomodasi," ujarnya.

Selain itu, Sutiyoso juga mencemaskan adanya indikasi resentralisasi sejumlah kewenangan yang seharusnya sudah diserahkan kepada daerah. "Misalnya saja soal pelabuhan yang mestinya bisa ditangani daerah, justru akan dikembali kewenangannya pada pemerintah pusat," jelasnya.

Semua itu, menurut dia, tentunya sangat merugikan pemerintah daerah. Jika kewenangan yang seharusnya bisa ditangani daerah dikembalikan lagi ke pemerintah pusat, pemerintah pusat jadi tidak punya wewenang apa-apa lagi. Menanggapi kelurahan Sutiyoso itu, Kausar AS menegaskan bahwa pemerintah pusat pasti tidak akan begitu saja mengabaikan apa yang menjadi aspirasi daerah. "Pemerintah pusat pasti mengakomodasi aspirasi daerah," jaminnya.

Dijelaskan Kausar bahwa dalam UU 32/2004 batasan mengenai kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih perlu dijabarkan dalam PP. "Nantinya seluruh kewenangan bisa diterap sesuai dengan batasan sebagaimana mestinya, pusat, provinsi dan kabupaten, kota," paparnya.

Hasil workshop ini nantinya akan menjadi draf pembanding bagi pemerintah pusat untuk menyusun PP terkait UU 32/2004. Setelah di Pekanbaru, APPSI akan menggelar kegiatan serupa di sejumlah daerah dengan tema-tema bahasan yang berbeda. Misalnya di Jawa Tengah akan membahas kewenangan mengenai Pendidikan.

sumber: