Buku putih pajak tambang disusun

 

PALEMBANG (Bisnis): Kalangan pertambangan tengah menyusun buku putih perpajakan yang akan diusulkan kepada pemerintah guna peninjauan kembali tingginya tingkat pajak di sektor terkait.

Anang R. Noor, external relation manager Rio Tinto, menuturkan buku putih itu disusun bersama oleh satu organisasi, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), menyusul permintaan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertambangan.

"Soal pajak itu kami tuangkan dalam white paper [buku putih] yang sedang disusun. Dari situ, pemerintah juga bisa melihat sampai seberapa jauh titik temunya," ujarnya di sela-sela Temu Profesi Tahunan XIII Perhapi di Palembang, akhir pekan lalu.

Menurut Anang, pemerintah perlu mengakomodasi masukan kalangan pertambangan sebelum RUU tersebut disahkan yang rencananya akan diselesaikan pada Desember ini.

Penyusunan buku putih itu sendiri, lanjutnya, juga melibatkan akademisi, Lembaga Penelitian Ekonomi & Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia, sebelum diserahkan ke departemen teknis.

"Sekali lagi, ini memang domain-nya di Depkeu. Kami mencoba memberi masukan agar sistem perpajakan bisa ditinjau ulang untuk mendukung investasinya."

Di lain pihak, Ketua Umum Perhapi Abdul Latief Baky menilai tingkat pajak yang diberlakukan di sektor pertambangan lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia, seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Sehingga, lanjutnya, pemerintah perlu memperhitungkan threshold antara penerimaan pajak dengan investasi pertambangan, sehingga pendapatan pemerintah tetap aman tanpa menekan penanaman modal di bidang terkait.

"Kami lihat tax rate-nya memang tinggi. Memang kalau dibandingkan dengan Laos atau Vietnam masih lebih tinggi. Tapi itu bisa dimengerti karena pertambangan di sana memang seperti kita tahun 1970-an dulu."

Sementara itu, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) Departemen ESDM Simon Felix Sembiring mengungkapkan RUU Pertambangan tidak lagi mengatur sistem perpajakan.

Dia menegaskan hal itu telah diatur sebelumnya dalam UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang memuat pembagian porsi pendapatan hasil tambang.

"Tidak ada. Itu vocal point-nya ada Depkeu. Kan juga sudah ada UU itu [No. 25/1999]. Kami tidak bisa apa-apa lagi. Kalau itu mau dibicarakan ya.. silahkan langsung ke Depkeu."

Simon mengatakan RUU Pertambangan itu sendiri tengah dalam penyusunan draf yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan semua stakeholders usaha tersebut.

sumber: