Penulis: Sidik Sukandar JAKARTA--MIOL: Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) akhirnya melakukan renegosiasi harga jual gas dari lapangan Tangguh, Papua. BP Migas menilai, harga jual gas yang tercantum dalam kontrak 2002 sebesar US$2,6 per MMBTU terlalu rendah. "Memang, tiga hari lalu telah ada negosiasi dan pihak pembeli pun sudah mulai mnggeser harganya, tapi belum final, ujar Kepala BP Migas Kardaya Warnika," di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut Kardaya, permintaan renegosasi itu memperoleh tanggapan yang cukup positif dari pihak pembeli. Hanya saja, sampai saat ini, BP Migas belum menerima revisi harga yang diajukan pihak pembeli, yakni CNOOC. "Tapi, negosiasi akan dilanjutkan dalam 10 hari mendatang. Mudah-mudahan sudah ada kesepakatan." Kardaya memaparkan, harga jual gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) biasanya terkait dengan harga minyak dunia (paritas minyak) dan memiliki batas atas (ceiling) dan batas bawah (floor). "Harga maksimal minyak bumi saat itu dipatok US$23 per barel mengacu pada price brand OPEC sebesar US$ 22-US$ 28 per barel. Dari tren perkembangan harga minyak 2002 sampai 2021, tidak ada tanda-tanda harga minyak akan meningkatkan dratis seperti saat ini," kata Kardaya. Ia mengakui, tidak ada satu pun ketentuan perubahan harga dalam klausul kontrak yang ditandatangani pada 2002 itu. Makanya, ia berharap, adanya pengertian dari pihak pembeli. Namun, dia menegaskan, hanya perubahan harga jual yang bisa berubah dalam kontrak itu. Volume pasokan tetap ke Fujian, Cina, tetap sebesar 2,6 juta ton per tahun. Pernyataan ini sekaligus menepis kabar yang menyebutkan Fujian hanya bisa menerima pasokan sebesar 1 juta ton per tahun. Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi dan Keuangan BP Migas Eddy Purwanto menambahkan, perhitungan harga jual gas biasanya menggunakan formula tertentu, yakni berdasarkan harga minyak mentah. Tetapi, formula tersebut sangat rahasia. "Yang bisa kita ketahui hanya prakiraan saja berdasarkan harga minyak," katanya. Proyek LNG Tangguh merupakan proyek LNG terbesar di Indonesia, setelah Arun di Nanggroe Aceh Darussalam dan Bontang, Kalimantan Timur. Proyek yang terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua ini dioperasikan BP Indonesia yang memiliki saham 37,16%. (Sdk/OL-02) |