Biaya untuk Memulai Berinvestasi di Indonesia Tertinggi di ASEAN

 

Jakarta, Kompas - Komponen biaya yang diperlukan untuk memulai investasi di Indonesia dinilai tertinggi dibandingkan dengan komponen biaya investasi di beberapa negara ASEAN. Biaya untuk memulai investasi di Indonesia mencapai 1.163 dollar AS dengan 12 jenis prosedur untuk memulai berinvestasi dan dengan jangka waktu proses investasi selama 151 hari. Selain itu, komponen biaya lain juga kurang kompetitif.

"Fakta bahwa biaya untuk memulai investasi di Indonesia ini mahal merupakan data yang dibuat oleh Bank Dunia," kata pengamat ekonomi Bustanul Arifin dalam seminar yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Selasa (7/9). Kondisi itu membuat daya tarik investasi di Indonesia menjadi rendah.

Sebagai perbandingan, biaya untuk memulai investasi di Malaysia sebesar 965,78 dollar AS dengan waktu untuk memulai berinvestasi selama 30 hari dan jumlah prosedur investasi sebanyak sembilan prosedur. Di Thailand, biaya berinvestasi sebesar 159,63 dollar AS dengan jangka waktu 33 hari dan jumlah prosedur sebanyak delapan jenis.

Hasil survei Japan External Trade Organization (Jetro) per Maret 2004, terlihat komponen- komponen biaya investasi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara di dunia. Misalnya, upah minimum di Indonesia mencapai 74,21 dollar AS per bulan. Upah di Shanghai sebesar 68,87 dollar AS per bulan, dan Ho Chi Minh (Vietnam) sebesar 40,11 dollar AS per bulan.

Selain itu, pajak perusahaan di Jakarta juga cukup tinggi, yaitu sebesar 30 persen, dibandingkan dengan pajak perusahaan di Kuala Lumpur. Pajak di negeri jiran itu mencapai 28 persen, Bangkok sebesar 30 persen, dan Ho Chi Minh sebesar 25 persen.

Menurut catatan Kompas, hasil survei itu juga digunakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melalui Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) sebagai bahan untuk membuat rencana kebijakan (road map) industri.

Menurut Bustanul, pemerintah perlu membuat prioritas kebijakan untuk menarik investasi dan meningkatkan kapasitas industri. Misalnya, utilisasi industri berbasis sumber daya alam, reformasi perpajakan, peningkatan kepastian hukum, dan perbaikan infrastruktur.

Secara terpisah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi mengatakan, pemberian insentif dari pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri dan investasi. Ia mencontohkan masalah pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas kakao yang dijual di dalam negeri.

Dengan pengenaan PPN tersebut, maka komoditas kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk primer. Akibatnya, industri pengolahan kakao menjadi tidak berkembang.

Peringkat

Dari suatu survei, lanjut Bustanul, dilihat dari peringkat negara-negara yang menjanjikan dalam kegiatan usaha, dari 10 negara, peringkat Indonesia pada tahun 2003 turun dan berada di bawah Vietnam dan India. Tahun 2002 peringkat Indonesia masih berada di atas Vietnam dan India.

Urutan 10 negara dalam peringkat negara-negara yang menjanjikan untuk kegiatan usaha tahun 2003 terdiri dari China, Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, India, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan Rusia.

Bustanul menambahkan, dari hasil survei yang dilakukan Jetro, praktik dan masalah perpajakan di Indonesia dinilai terlalu rumit (complicated) dengan skor 72,0. Sementara itu, negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura berada di atas Indonesia dengan skor masing- masing 46, 11, dan 12,5.

Menunggu

Kampanye para calon presiden (capres) juga membuat investor belum mengambil keputusan berinvestasi di Indonesia. Sebab, dari visi ekonomi yang disampaikan para capres, tidak ada hal konkret yang bisa memberi gambaran arah kebijakan perekonomian Indonesia di masa mendatang dengan pemerintahan yang baru.

"Ini membuat investor, khususnya dari Jepang, hanya wait and see. Semuanya bicara hal benar, tetapi bukan bagaimana hal benar itu dicapainya. Hal ini yang membuat investor Jepang tidak mengambil sikap apa pun, mereka hanya wait and see. Mereka mungkin baru ambil keputusan tahun 2006 atau 2007," kata pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Chatib Basri.

sumber: