Berburu Emas Hitam di Satui

 

Satui: Satui adalah kota kecamatan di pedalaman Kalimantan Selatan. Tetapi jangan harap menemukan hutan tropis khas Borneo di wilayah ini. Satui yang sekarang, berdebu, bising, tidak ramah, dan sensitif. Perangai Satui berubah karena penambangan batu bara.

Bopeng bak wajah penuh jerawat, begitulah potret mutakhir hutan Kalimantan Selatan, termasuk di Satui. Hutan kini berubah menjadi kolam-kolam raksasa berdiameter 200-400 meter. Sementara penduduk setempat belakangan ini semakin rentan diserang penyakit.

Penambangan batu bara besar-besaran sejak beberapa tahun terakhir memang telah merusak alam Satui. Sebaliknya, Satui menjadi surga bagi penambang liar batu bara. Alat-alat berat dan antrean sekitar 1.300 unit truk kini menjadi pemandangan kerakusan manusia.

Di kalangan orang Madura ada joke, tanah adalah milik Tuhan. Karena itu Madura pendatang di Jakarta, misalnya, bebas menempati lahan kosong di manapun. Joke yang hampir sama juga berlaku di kalangan penambang liar. Batu bara adalah kepanjangan dari barang Tuhan bagi rata. Artinya bagi penambang liar, batu bara sah-sah saja dikeruk atau ditambang tanpa batas. Tak ada kaidah hukum dan lingkungan dalam kamus mereka.

Di Kalsel, puluhan ribu ton batu bara dijarah setiap harinya oleh para penambang ilegal yang beroperasi 24 jam. Ratusan pengusaha batu bara tumbuh pesat bukan hanya di Satui tetapi juga menyebar ke Batulicin, Kota Baru, hingga Semenanjung Senakin. Mereka percaya batu bara di Kalsel baru akan habis ditambang 300 tahun kemudian.

Mereka yang termasuk ilegal adalah penambang yang berpraktik `sepanyol` alias separo nyolong. Memang, perusahaan mereka umumnya resmi terdaftar dan memiliki izin kuasa pertambangan (KP) dari bupati setempat. Namun, dalam praktiknya, para penambang itu mengeruk bahkan menjarah batu bara di luar lahan KP mereka.

Jumlah penambang sepanyol diduga mencapai ratusan. Buktinya, tahun silam, Kepolisian Daerah Kalsel menjaring 72 tersangka penambang ilegal. Tapi, dalam kenyataannya diperkirakan jumlah penambang liar jauh lebih banyak. Intensitas penambangan menggila terutama setelah permintaan emas hitam itu meningkat tajam menyusul meledaknya pertambangan batu bara di Cina.

Sejak Cina menutup sementara tambang batu bara terbesarnya, harga batu bara naik tajam dari US$ 40 menjadi US$ 55 per ton. Sedangkan penambang liar menjual batu bara kepada pembelinya seharga Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per ton.

Harga murah ini menjadikan batu bara dari penambang ilegal dilirik perusahaan resmi, termasuk badan usaha milik negara. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono, meski tak ada bukti hitam di atas putih, perdagangan batu bara ilegal itu memang ada. Ironisnya, dilakukan juga oleh perusahaan negara.

Menjamurnya penambang liar, membuat para penambang resmi terpaksa meningkatkan staminanya. Mereka berlomba dengan penambang ilegal. Mereka pantas gusar karena dari 30 juta metrik ton produksi batu bara Kalsel, setengahnya berasal dari penambang liar. Penambangan batu bara di Kalsel semakin kusut, ketika polisi melalui Pusat Koperasi Kepolisian RI (Puskopol) Polda Sulsel dan tentara melalui Pusat Koperasi TNI Angkatan Darat (Puskopad), yang seharusnya menegakkan hukum malah ikut bermain dalam pusaran.

Sengketa dan terkadang pertumpahan darah, konon sudah menjadi barang biasa di kalangan penambang liar di Kalsel. Kondisi ini memaksa perusahaan besar sekelas PT Arutmin Indonesia berdamai dengan penambang liar dengan dalih kemitraan. Para penambang ilegal direkrut sebagai subkontraktor agar meninggalkan pola penambangan liar, terutama yang dikuasai Arutmin.

Istilah kemitraan memang indah didengar namun jeblok di lapangan. Nyatanya, banyak penambang liar itu kembali ke pola lama, menjarah milik orang atau perusahaan lain. Alasannya, Arutmin seringkali molor membayar duit kontrak kerja sama. Sementara para penambang kecil ini terbiasa dengan pembayaran yang cepat. Alhasil, dari 26 penambang liar yang berhasil dirangkul, hanya tinggal dua subkontraktor yang masih bertahan.

Akibat cara penambangan yang serampangan, sebagian besar wilayah pertambangan pada bentangan ribuan hektare hutan di Kalsel rusak parah. Sebuah kajian menunjukkan dibutuhkan dana triliunan rupiah untuk mereklamasi kerusakan lingkungan akibat penambangan liar dan penambangan resmi. Bila memakai patokan analisa biaya rehabilitasi secara standar, setidaknya dibutuhkan dana sebanyak US$ 5 juta atau sekitar Rp 42 miliar untuk mereklamasi lahan seluas 200 hektare saja.

Waduk-waduk bekas penambangan ditinggal begitu saja dan kini berisi air hujan yang tingkat keasamannya sangat tinggi. Artinya dapat dijamin bahwa tidak ada makhluk hidup yang bisa bernapas di danau ini.

Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim pernah menyebut bahwa dibutuhkan dana reklamasi untuk seluruh wilayah pertambangan di Klasel sekitar Rp 3,4 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa ada sekitar 20 ribu hektare lahan rusak akibat penambangan batu bara di Kalsel.

Dana itu jelas tak dimiliki pemerintah Provinsi Kalsel. Sebab, provinsi ini hanya kebagian Rp 280 miliar dari royalti pertambangan batu bara. Anggaran belanja Kalsel juga hanya Rp 600 miliar per tahun. Bila dana kerusakan lingkungan itu dibebankan kepada tiga juta penduduk Kalsel, masing-masing akan menanggung dana sekitar Rp 1,3 juta.

Semua penambang yang kebanyakan pemegang izin dari bupati menolak bertanggung jawab atas reklamasi lahan bekas pertambangan. Alasannya, mereka sudah menyetor dana reklamasi saat pengurusan izin sebesar Rp 30 juta.

Aktivitas pertambangan sama sekali tidak memperbaiki kualitas hidup warga Kalsel. Bahkan masyarakat hidup dalam ketakutan dan teror. Siapa saja yang berani memprotes debu akibat aktivitas penambangan dan pengangkutan batu bara, siap-siap saja dibunuh.

Seorang guru yang memprotes truk batu bara, awal Februari silam, tewas dibunuh preman. Hedriansyah, guru Sekolah Dasar Negeri Sarigadung, Batulicin, sebelum mati ditebas preman, dikenal suka memprotes polusi akibat pengangkutan batu bara di kampungnya. Sementara Bambang, pedagang bakso di Satui memilih berhenti berdagang karena tiap hari menghisap debu batu bara. Kini ia memilih menjadi kuli meski penghasilannya jauh berkurang.

Penyokong lain kerusakan lingkungan adalah munculnya pelabuhan liar. Di sepanjang Sungai Satui ada sekitar 26 buah pelabuhan. Sebagian pelabuhan khusus itu tidak berizin. Kalaupun berizin semua pelabuhan itu tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Bahkan ada pelabuhan yang dibangun di kawasan cagar alam. Pemilik pelabuhan khusus itu sengaja menghindari amdal karena sudah pasti tidak bisa memenuhi syarat minimal, misalnya soal letak dari pinggir sungai dan kewajiban pengolahan limbah batu bara.

Di seluruh Kalsel pelabuhan khusus batu bara tercatat sekitar 66 buah. Kehadiran pelabuhan liar juga memukul pelabuhan milik pemerintah. Pelabuhan Trisakti Banjarmasin misalnya kini hanya melayani tiga perusahaan tambang dengan total batu bara yang dikapalkan hanya 371 ribu ton per tahun.

Aktivitas pertambangan juga membuat jalan-jalan umum di Satui rusak berat dan tidak ada yang mau bertanggung jawab. Padahal, dalam aturan pertambangan perusahaan harus memiliki jalan sendiri. Tetapi di Kalsel truk-truk pengangkut batu bara berkeliaran bebas di jalan-jalan umum.

Di tengah kusutnya pertambangan di Kalsel, selain pengusaha, segelintir orang yang menikmati hasil pertambangan adalah para birokrat dari tingkat kabupaten hingga desa. Desa Sungai Danau misalnya, mengutip uang debu sebesar Rp 5.000 dari setiap truk. Dari sekitar 700 truk, Desa Sungai Danau bisa menarik duit Rp 2 juta per hari. Cuma, permasalahannya uang tersebut tak menetes ke masyarakat yang menjadi korban. Mereka kini menderita. Kalau sudah begini siapa yang peduli?(YYT/Tim Sigi SCTV)

sumber: