Berbahaya, Limbah Batu Bara Nonindustri

Berbahaya, Limbah Batu Bara Nonindustri

Suara pembaruan, 26 Februari 2006

BANDUNG - Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar mengatakan, penggunaan batu bara oleh nonindustri, lebih berbahaya dampak limbahnya ketimbang industri. Pasalnya industri sudah memiliki alat sehingga debu yang ke luar lebih bersih dari udara sekelilingnya.

Hal itu dikatakan Menneg LH Rachmat Witoelar seusai acara pertemuan dengan, Menteri Perindustrian dan para pemangku kepentingan dalam upaya penanganan dan pemanfaatan limbah batu bara pada industri tekstil di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/2) malam. Menurut dia, industri berdasarkan yang dilihat, debu yang ke luar mencapai zero emulsion, karena itu, ia mengatakan perbedaan antara nonindustri dan industri dalam penggunaan batu bara sebagai bahan bakar, dapat terlihat dari apakah mereka menggunakan syarat-syarat dalam pengelolaan limbah batu bara ketimbang mereka yang mencoba-coba menggunakan bahan bakar batu bara.

"Maka adanya regulasi izin tempat penyimpanan sementara kepada sejumlah industri TPT dan izin pemanfaatan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun -Red) batu bara akan mengurangi dampak penggunaan batu bara," katanya.

Tak Perlu Takut

Menneg LH juga mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil tidak perlu takut menggunakan batu bara sebagai pengganti energi bahan bakar minyak (BBM). Karena, limbah B3 yang diolah secara terpadu dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku semen dan bahan baku batako. "Masyarakat banyak yang memandang pemanfaatan batu bara akan menghasilkan limbah yang berbahaya sehingga industri yang menggunakannya sering mendapatkan sorotan. Tapi dengan pengolahan yang terpadu, limbah berbahaya itu bisa diminimalkan menjadi bahan baku semen dan batako.

Lebih lanjut, ia menjelaskan yang menjadi permasalahan selama ini bagi industri TPT dalam pengelolaan limbah B3 batu bara adalah bottom ash dan fly ash. Padahal, solusi untuk hal itu sudah dipikirkan oleh Kementrian LH dan Menteri Perindustrian semenjak 19 Januari lalu.

Untuk di Jawa Barat sendiri, diperkirakan ada 69 industri TPT yang sudah menggunakan batu bara sebagai pengganti BBM. Dengan jumlah kebutuhan mencapai 125 ribu ton per bulannya, sedangkan limbah batu bara yang dihasilkannya mencapai 10 ribu ton per bulan. Di lain pihak beberapa industri semen telah siap untuk menampung limbahnya.

Di bagian lain dikatakan, persoalan limbah batu bara itu, jika tidak diatur atau dicoba-coba secara acak oleh masyarakat, akibatnya lebih berbahaya ketimbang yang menggunakan syarat-syarat pembuangan debu batu bara. Selama ini, katanya, ada kekhawatiran soal limbah batu bara itu akan merusak lingkungan, namun sebaliknya jika ditangani secara baik, kekhawatiran tersebut dapat tertanggulangi.

Sebelumnya, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan B3, serta Limbah Berbahaya dan Beracun, Yanuardi Rasudin mengatakan, kini di Jawa Barat ada 69 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang memanfaatkan batu bara sedikitnya 125 ribu ton per bulan. "Limbah yang dihasilkan dari industri itu mencapai 10 ribu ton per bulan", kata Yanuardi.

Sementara itu, lanjut dia, beberapa industri semen juga telah menyatakan kesediaannya menampung limbah batu bara tersebut. Sebelumnya, kata dia, upaya penanganan dan pemanfaatan limbah batu bara pada industri tekstil telah disepakati antara Menneg LH dengan Menteri Perindustrian tentang pengelolaan limbah B3 di sektor industri pengolahan pada 16 Januari 2006.

Dalam kesempatan itu, Menneg LH Rachmat Witoelar menyerahkan izin tempat penyimpanan sementara kepada sejumlah industri TPT dan izin pemanfaatan limbah B3 abu batu bara kepada PT Holcim Indonesia.

sumber: