Beberapa faktor penghambat dalam iklim investasi tambang
Friday, January 28, 2005
PricewaterhouseCoopers (PwC) menilai ada beberapa faktor penghambat dalam iklim investasi tambang di Indonesia. Kendala itu, antara lain, menyangkut stabilitas politik, ketidakpastian hukum, peraturan yang tumpang tindih, ketidakpastian status tanah, ketidakpastian lahan suaka alam, dan keterbatasan infrastruktur.
PwC mengungkapkan berbagai kendala itu berdasarkan kajian terhadap investasi tambang pada 2002 dan 2003. Untuk mendorong investasi tambang, konsultan keuangan itu merekomendasikan kepada pemerintah agar memprioritaskan tujuh langkah perbaikan.
Partner PwC Marc Upcroft mengingatkan, Indonesia sebetulnya memiliki potensi sebagai negara pertambangan kelas dunia yang akan memberikan manfaat substansial. "Itu bisa terwujud jika tujuh hal itu terlaksana dengan baik," kata Upcroft di Gedung PwC Kuningan Jakarta, 27/1.
Prioritas itu, menurut Upcroft, mencakup pengembalian kepastian jangka panjang sistem kontrak karya, termasuk stabilitas perpajakan, perbaikan daya saing sistem perpajakan dan royalti, termasuk penetapan kembali restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produsen emas dan batubara.
Kemudian, PwC mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik kepentingan antara ketentuan kontrak karya dan peraturan kehutanan. Penyelesaian konflik itu tidak menambah beban keuangan atau beban lainnya pada perusahaan-perusahaan tambang tersebut.
Selain itu, pemerintah harus mengurangi penambangan tanpa izin (Peti) dan meminimalisasi potensi pengaturan secara berlebihan, termasuk duplikasi peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah juga harus menjamin keadilan dalam divestasi kepemilikan asing dan penutupan tambang, sekaligus peningkatan kepastian dalam penafsiran hukum kontrak karya dan peraturan lainnya.
Bila beberapa hal itu tidak dilakukan, iklim investasi ke depan akan terus terhambat. Indonesia, seharusnya belajar bahwa selama hampir 10 tahun tidak ada penambahan daerah eksplorasi baru. "Dan hanya 5 dari 30 perusahaan tambang asing yang berani beroperasi di Indonesia," kata Upcroft.
Bila tidak ada perbaikan iklim investasi pada tahun ini, menurut dia, pada 2020, industri pertambangan Indonesia akan jatuh. "Padahal Indonesia memiliki prospek yang tinggi dengan masih besarnya cadangan bahan tambang yang ada," ujarnya.
Direktur Pengembangan Bisnis PwC Bernardus Djonoputro memperkirakan tahun ini akan ada peningkatan eksplorasi namun masih di bawah angka 1%. Angka itu lebih rendah dibandingkan peningkatan eksplorasi global yang mencapai angka 7%. Ekplorasi ini pun bukan merupakan kontrak baru, tapi lebih kepada kelanjutan dari kontrak lama.
Menurut Bernardus, profit Indonesia dari sektor tambang untuk tahun 2005 memang akan meningkat. Namun, hal itu bukan atas peningkatan eksplorasi tapi lebih kepada akibat membaiknya harga komoditas tambang di pasar internasional.
Hasil kajian PwC untuk industri tambang selama 2002 - 2003 menunjukkan adanya peningkatan sumbangan industri tambang kepada pemerintah sekitar 10%, yakni dari Rp 43 miliar menjadi Rp 47 miliar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah meningkatnya pendapatan pemerintah dari sisi royalti dan pajak serta adanya penyerapan tenaga kerja lokal yang cukup besar oleh sektor tambang.
Hasil lain yang menarik disimak adalah pajak yang harus ditanggung pengusaha tambang di Indonesia paling tinggi dibandingkan di negara lain. Misalnya, 65% untuk batubara, sementara di negara lain seperti Australia, Cina, dan Afrika Selatan tidak sampai pada angka tersebut.
Di sisi lain, kajian itu juga menunjukkan, investasi tambang di Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain yang berpotensi mineral lebih rendah, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Brazil, Afrika Selatan, Chile, maupun Peru.* (Inv-Daily)